"DALAM satu minggu air bersih hanya mengalir dua kali. Itu pun hanya 10 menit setiap kali mengalir," keluh seorang warga, yang ditemui Media Indonesia di rumah susun nelayan Muara Angke, Jakut.
Kesulitan air bersih yang dialami warga rumah susun itu sudah terjadi sejak 2003, yakni awal rusun itu didirikan Yayasan Buddha Tzu Chi. Padahal, menurut dia, hampir setiap bulan warga di rusun itu membayar tagihan air bersih dengan kisaran jumlah Rp56 ribu.
"Terasa sia-sia jadinya kami membayar tagihan sebesar itu. Mungkin lebih baik dicabut saja ledengnya. Jadi, sama-sama tidak mendapat air bersih, tapi tidak perlu membayar," imbuhnya.
Permasalahan itu tak pelak memaksa warga rusun untuk menyiasati situasi. Di antaranya, menurut seorang warga, dengan membeli air bersih yang dijual dalam jeriken ukuran 20 liter. Harga sejeriken, menurut dia, Rp1.500.
"Jeriken-jeriken itu dijual dengan cara dipikul. Sekali jalan, tukang pikul air bersih itu membawa dua pikul. Jadi kalau dihitung, dalam seminggu, saya bisa mengeluarkan uang minimal Rp150.000 untuk membeli air itu," ujar wanita yang bersuamikan seorang nelayan tersebut.
Sejatinya, menurut dia, warga bukan sekali dua kali berniat melaporkan persoalan tersebut kepada pengurus yayasan. Hanya, proses itu selalu dihalangi pengelola rusun. "Kalau melapor ke pengelola, kami dimarahi. Namun, kalau pengurus yayasan sedang meninjau dan kami berniat menemui, malah dihalang-halangi pengelola," tandasnya, seraya mengungkapkan bahwa warga rusun berharap agar pihak yayasan maupun penyedia layanan air bersih segera menindaklanjuti persoalan tersebut.
Situasi serupa nyatanya juga terjadi di rusun I Penjaringan, Jakarta Utara. Sarinah, salah seorang ketua RT di lingkungan itu, menyebutkan bahwa aliran air bersih di lokasi itu sering kali tidak memadai jumlahnya.
Seolah menguatkan keluhan para warga rusun tersebut, Laboratorium Perencanaan Wilayah Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Juni 2009 melakukan penelitian. Hasilnya, mereka menemukan bahwa hanya 42% warga rusun I Penjaringan yang dapat menikmati air bersih. Sementara itu, 58% warga lainnya, harus mengupayakan sendiri air bersih tersebut. Pangkal persoalan Saat menanggapi itu, pengelola rusun I Penjaringan Jintan Sipayung berdalih bahwa persoalan air di rusunnya berpangkal pada pihak penyedia jasa air bersih. "Pengelola hanya menerima layanan air yang didistribusikan ke warga. Berapa pun yang kami terima itulah yang didistribusikan. Jadi kalau debit air kurang, itu ya memang dari penyedia hanya mengalirkan sejumlah itu."
Jintan bahkan tidak segan menuding PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), mitra PDAM Jaya, sebagai pihak kunci di balik seretnya aliran air bersih ke rusun tersebut. "Sejak diserahkan ke swasta (Palyja), air jadi seperti ini. Palyja yang mengatur pembagian air."
Jintan pun lantas mengungkapkan penghuni rusun memang tergolong pada pelanggan air bertarif murah. "Jadi terkesan ada pembedaan.
Mereka yang bayar mahal mendapat layanan yang prima. Sementara itu, yang bayarnya minim seperti di sini, pelayanannya setengah-setengah." (Imam Safingi Mansursyah/J-4)
Post Date : 22 Januari 2010
|