Air Bersih Mengalir Sampai Musi

Sumber:Kompas - 17 Mei 2011
Kategori:Air Minum

PALEMBANG, KOMPAS.com — Di perkampungan Sungai Lais di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, air menggenang sepanjang tahun. Permukaannya yang berwarna coklat keruh tampak semarak dengan sampah plastik yang terapung maupun yang tersangkut di kaki-kaki penyangga rumah panggung di atasnya. Di rumah-rumah panggung kayu itu, air jernih hanya melintas di layar televisi.

Inilah ironi perkampungan di Kelurahan Sungai Lais. Seumur hidup, penduduk akrab dengan air yang melimpah tepat di bawah lantai rumah mereka. Namun, kesulitan memperoleh air bersih selalu membayangi. Di perkampungan padat yang banyak dihuni masyarakat berpenghasilan rendah ini, air bersih layak minum adalah semacam kemewahan.

Hingga sekitar lima bulan lalu, hal inilah yang dirasakan Ani (43), buruh cuci yang tinggal di Lorong Kemang, Kelurahan Sungai Lais, Kalidoni, yang selama puluhan tahun hidup di Sungai Lais. Saat itu, air bersih adalah barang berharga.

Tak ada sambungan air ledeng di rumah panggungnya yang mulai reyot dimakan usia. Untuk memasak dan minum, air ledeng dapat dibeli. Namun, harganya sangat mahal, Rp 1.500 setiap satu jeriken yang berisi sekitar 20 liter air. Jika ada uang, Ani membeli satu jeriken air ledeng untuk keperluan memasak dan minum sehari.

Karena harga air dirasakan mahal, Ani lebih sering mengandalkan air kambang (kolam penampungan air hujan) atau mengambil dari Sungai Musi yang coklat keruh itu. Untuk memasak dan minum, air dari Sungai Musi itu dia bubuhi kaporit yang dibeli di pasar untuk menjernihkan. "Kalau kaporitnya kebanyakan, air jadi lengket dan aromanya tidak enak. Tapi kalau kurang, air jadi tidak jernih," kata Ani, Senin (16/5/2011).

Bertahun-tahun Ani dan banyak tetangganya hanya bisa membayangkan dapat mempunyai air ledeng di rumahnya seperti banyak mereka lihat di televisi. Namun, biaya pemasangan yang mencapai Rp 1,1 juta itu tak terjangkau bagi ibu tiga anak yang pendapatannya hanya Rp 100.000 dari buruh mencuci. Pendapatan suaminya sebagai buruh serabutan pun tak bisa diandalkan.

Belum lagi membayangkan tagihan bulanan. Ani merasa khawatir tak akan sanggup membayarnya. Hingga Desember 2010, program hibah air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah masuk ke kampung mereka. Program bantuan dari Pemerintah Australia ini menawarkan subsidi untuk memangkas biaya instalasi air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dari Rp 1,1 juta menjadi Rp 300.000 saja.

Ani berpikir keras. Meski telah dipangkas 73 persen lebih murah, jumlah uang itu begitu besar baginya. Namun, mengingat sulitnya mencari air, Ani memberanikan diri. Dia membagi biaya dengan ibunya yang mempunyai rumah tepat di depan rumahnya dan utang Rp 150.000 kepada ketua RT setempat untuk melunasi bagiannya.

Sebulan lalu, keran di teras belakang rumah Ani pun mulai mengucurkan air bening yang telah dia nantikan sekian lama. Kebahagiaan terpancar dari senyumnya saat memperlihatkan satu-satunya keran yang terpasang di rumahnya itu. "Sekarang tak susah lagi cari banyu masak dan minum," ujarnya.

Meskipun demikian, biaya bulanan air masih menjadi beban pikiran Ani. Untuk menghemat biaya, penggunaan air ledeng hanya dibatasi satu drum untuk keperluan seluruh keluarga dalam sehari. Air ledeng hanya dinyalakan setiap pagi untuk memenuhi drum berkapasitas lebih kurang 250 liter itu dan baru dinyalakan kembali esok paginya.

Setiap bulan, Ani menyisihkan Rp 50.000 dari pendapatannya Rp 100.000 khusus untuk membayar tagihan air. Semua ini dia lakukan agar aliran air bersih di rumahnya tidak dicabut. "Pokoknya, uang itu disisihkan dulu, nanti kalau sisa setelah bayar tagihan air, baru digunakan untuk keperluan lainnya. Kalau tidak begitu, saya takut menunggak, lalu dihentikan airnya," tuturnya.

Hingga saat ini, masih ada sekitar 500 keluarga di Sungai Lais yang belum punya akses air bersih. Tak hanya di Sungai Lais, warga kampung-kampung di tepian Sungai Musi lainnya banyak merasakan kesulitan yang sama. Salah satunya di Musi II, Gandus.

Maemunah (38) dari Musi II, misalnya, terpaksa membeli air setiap hari dengan harga Rp 250 tiap jeriken. Setiap hari Maemunah membutuhkan minimal dua jeriken untuk keperluan memasak, minum, dan mandi dua anaknya yang salah satunya masih balita. "Saya takut memakai air Sungai Musi karena kotor sekali. Saya punya anak kecil, takut dia sakit kalau pakai air Musi," kata istri buruh harian itu.

Hal ini dia lakukan sebelum mendapat subsidi instalasi air dari AUSAID. Sejak sepekan lalu, Maemunah mulai menggunakan air ledeng untuk keperluan sehari-hari.

Kualitas air menurun

Seiring dengan pembangunan, kualitas air Sungai Musi menurun. Rokiyah (65), warga yang lahir dan tumbuh di Sungai Lais, mengenang, pada masa kecilnya, penduduk biasa menggunakan air rawa di sekitar rumah maupun Sungai Musi untuk keperluan sehari-hari, mulai dari memasak, minum, mandi, hingga mencuci. Saat itu, air masih lebih bersih meskipun sering kali mengandung lumpur.

Air dari Musi maupun rawa itu biasanya didiamkan beberapa saat untuk mengendapkan kotorannya sehingga lebih jernih saat digunakan. Namun, kini, air di daerah itu semakin kotor dan mempunyai rasa yang aneh meskipun telah didiamkan. "Rasanya sekarang seperti campuran asin dan asam. Sepet, tidak enak diminum," kata Rokiyah.

Tak perlu menelisik jauh untuk menjelaskan rasa air Sungai Musi yang ganjil itu. Industrialisasi yang hadir di tepian Sungai Musi membuat air terpolusi sehingga memengaruhi rasanya. Air dari sungai itu merembes ke sekitarnya dan memengaruhi rasa air rawa maupun air tanah yang berada di tepian. Warga berpenghasilan rendah yang banyak bermukim di tepian Musi pun harus merasakan dampak daya dukung lingkungan yang memburuk.

Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra menyebutkan, sampai saat ini sekitar 2.000 keluarga Palembang belum mendapat akses air bersih. Jumlah ini telah berkurang dari 7.000 keluarga yang belum mempunyai akses air bersih pada tahun lalu. Sebagian besar dari mereka adalah warga dengan penghasilan rendah yang tak mampu membiayai pemasangan instalasi air PDAM.

"Masih diperlukan banyak bantuan untuk memberi akses air bersih kepada para penduduk itu. Kami masih berupaya terus agar seluruh masyarakat Palembang dapat akses air bersih. Tahun 2012 kami targetkan semua warga Palembang telah dapat menikmati aliran bersih. Penyediaan air bersih ini salah satu upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs)," papar Eddy pada peresmian dan penyerahan program hibah air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah Kota Palembang, Senin (16/5/2011).

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto yang meresmikan penyerahan hibah air minum di Palembang itu mengungkapkan, tantangan penyediaan air bersih di perkotaan semakin besar. Tidak hanya dari pembangunan infrastruktur, tetapi juga mencari sumber-sumber air layak minum yang jumlahnya semakin menyusut seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan. Sampai saat ini, baru 47 persen atau delapan juta keluarga Indonesia yang mempunyai akses air bersih tersebut.

Orang-orang seperti Ani dan Maemunah tak pernah berpikir terlalu rumit tentang program MDGs atau pembangunan perencanaan infrastruktur. Saat ini, mereka tengah tersenyum karena air bersih layak minum kini mengalir sampai tepian Sungai Musi.



Post Date : 17 Mei 2011