Air Bersih Kian Langka

Sumber:Suara Merdeka - 20 Oktober 2008
Kategori:Air Minum

BISA jadi dulu nenek moyang kita tidak pernah membayangkan bahwa di kemudian hari anak cucu mereka akan mengalami krisis air bersih. Sebab, negeri ini memang dikaruniai air yang melimpah. Sekitar enam persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air di Asia Pasifik berada di Indonesia.

Badan urusan ekonomi luar negeri Jerman (Bundesagentur fuer Assenwirtschaft) pada 2006 mencatat setiap tahun ketersediaan air di seluruh wilayah Indonesia mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, dua kali lipat dari ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun.

Tapi ironisnya setiap tahun Indonesia selalu mengalami krisis air bersih. Tak hanya di musim kemarau, di musim penghujan pun air bersih sulit didapatkan.
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia melaporkan, ketersediaan air bersih di Pulau Jawa hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2000, dan terus menurun hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2020. Padahal, standar kecukupan minimal 2.000 meter kubik per kapita per tahun.

Hal serupa juga terjadi di Bali dan Nusa Tenggara. Walhi mencatat defisit air pada musim kemarau (2003) mencapai 13,1 milyar m3. Padahal, pada tahun 2003, permintaan air bersih di Jawa dan Bali melonjak hingga 38,4 milyar m3. Sementara itu, pasokan air bersih yang tersedia hanya berkisar 25,3 milyar m3 (KLH, 2005).

Wajar bila kemudian tak semua penduduk Indonesia yang dapat menikmati air bersih. Dalam perhitungan Unesco, dari 220 penduduk Indonesia hanya 78 % yang bisa mendapatkan akses air bersih. Dari jumlah itu yang terbanyak tinggal di daerah perkotaan. Persentase akses penduduk kota terhadap air bersih mencapai 89 %, sementara akses penduduk desa hanya 69 %. Mereka ini sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air, usaha air secara komunitas, atau sumur air dalam.

Pencemaran

Laju pertumbuhan penduduk yang tak dibarengi persebaran penduduk, pemerataan sumber daya alam, dan pembangunan yang ekosentris, serta melonjaknya aktivitas industri hingga jauh melebihi daya dukung ekosistemnya disinyalir menjadi penyebab utama krisis air bersih kian menjadi.

Akibatnya sumber air alam semakin menyusut dan air bersih olahan semakin mahal. Di sisi lain pencemaran lingkungan semakin mengerikan. Sebanyak 13 sungai yang melewati ibukota Indonesia bahkan telah tercemar bakteri E-coli, termasuk 70 persen air tanahnya.

Bagi penduduk kota dengan penghasilan memadai air bersih mungkin tidak terlalu jadi soal. Mereka bisa membuat sumur artetis atau berlangganan pada perusahaan air bersih. Namun, tidak bagi masyarakat pinggiran yang berpenghasilan rendah. Bagi mereka tidak ada pilihan selain mengonsumsi air kotor.

Pada kenyataannya untuk membuat sumur artetis dibutuhkan biaya yang cukup besar. Pun jika berlangganan. Perusahaan air minum yang beroperasi kebanyakan juga cenderung menjaring wilayah perkotaan. Itupun dengan pasokan yang terbatas.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kuantitas air bersih yang didistribusikan dari tahun ke tahun tidak beranjak dari kisaran 21 miliar m3. Padahal jumlah pelanggan yang harus dilayani semakin banyak. Jika pada 2001 jumlah pelanggan yang dilayani hanya 5.567.613, pada 2005 telah naik menjadi 7,028,884.

Akhirnya air bersih yang seharusnya menjadi barang publik yang mudah dijangkau oleh rakyat perlahan namun pasti menjadi barang mewah. Padahal UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dengan jelas telah mengamanatkan pada negara untuk menjamin ketersediannya bagi rakyat. Bahwa: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. (Nash-60)



Post Date : 20 Oktober 2008