Baru sekitar 50% penduduk di Indonesia yang sudah mendapatkan akses terhadap air bersih. " Indonesia memerlukan waktu sekitar 50 tahun untuk memenuhi target MDGs, yaitu 100% sanitasi.'' Guy Hutton Regional Senior Water and Sanitation Economic World Bank
DEKLARASI Millennium Development Goals (MDGs) mensyaratkan setidaknya 80% orang memiliki akses terhadap air bersih. Problemnya, kesanggupan pemerintah menggelontorkan dana untuk penyediaan fasilitas air bersih masih di bawah dana yang dibutuhkan. Untuk itu, perlu ada keterlibatan swasta untuk membangun fasilitas air bersih bagi masyarakat.
Keterlibatan swasta diharapkan dapat mempercepat pencapaian target MDGs. Kini, baru sekitar 50% penduduk di Indonesia yang sudah mendapatkan akses terhadap air bersih. Sisanya, 50%, belum memiliki akses tersebut. Di lain pihak, pemerintah harus berhadapan dengan masalah keterbatasan dana. Pada saat ini, kemampuan untuk mengalokasikan dana baru sebesar Rp400 miliar per tahun.
Padahal, penyediaan infrastruktur air bersih membutuhkan dana sekitar Rp3 triliun. "Jadi, sangat jauh kekurangan," kata Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto.
Selain dana, masalah yang terkait dengan penyediaan akses terhadap air bersih adalah rendahnya kesadaran masyarakat dan birokrat mengenai pentingnya sanitasi lingkungan.
Itu tecermin pada masih sedikitnya pusat pengelolaan limbah perkotaan di Indonesia, yaitu baru 12. Beberapa kota yang sudah memiliki pusat pengelolaan adalah Cirebon, Yogyakarta, Banjarmasin, Jakarta, Bandung, Medan, dan Denpasar. Artinya, hanya 3% dari 92 wilayah perkotaan yang sudah mempunyai pusat pengelolaan limbah perkotaan.
Kurangnya pusat pengelolaan jelas berpengaruh pada kualitas air, termasuk air konsumsi. Bank Dunia mencatat kerugian akibat sanitasi buruk bisa mencapai Rp56 triliun setiap tahun.
Sementara itu, Regional Senior Water and Sanitation Economic World Bank Guy Hutton mengungkapkan Indonesia memerlukan waktu sekitar 50 tahun untuk memenuhi target MDGs, yaitu 100% sanitasi.
Demi mencapai target itu, pemerintah berusaha mendorong keterlibatan swasta untuk membangun fasilitas air bersih bagi masyarakat.
Apalagi, swasta yang berpartisipasi dalam pembangunan tersebut bisa mendapatkan keuntungan. Pasalnya, bisnis penyediaan air bersih, terutama untuk kawasan perkotaan, sangat menguntungkan.
Bisnis amat potensial karena mayoritas wilayah perkotaan mengalami kesulitan air bersih. Adapun keterpurukan pengelolaan sistem air bersih akibat manajemen kurang baik dan itu terjadi di beberapa wilayah perkotaan di Indonesia.
Menurut Agoes Widjanarko yang dahulu menjabat sebagai Dirjen Cipta Karya Pekerjaan Umum (PU), investor swasta akan difokuskan untuk mengelola kawasan permukiman menengah atas di perkotaan. Sebaliknya, pemerintah menggarap kawasan miskin.
Sejauh ini, pengelolaan air secara komersial sudah dilakukan di beberapa wilayah perumahan mewah di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). . Pembenahan sanitasi Selain akses terhadap air minum, pemerintah juga harus membenahi sanitasi dan pengelolaan sampah. Dengan begitu, target MDGs dapat dicapai.
Untuk sanitasi, peran pemerintah sangat besar di dalamnya. Namun, pengelolaan sampah sudah dapat diserahkan kepada swasta sepenuhnya. Karena itu, perlu kebijakan yang mendukung partisipasi swasta di sektor-sektor tersebut.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan sekitar 11,5 juta (12,6%). Sebaliknya, yang tinggal di perdesaan 24,6 juta (19,5%).
Sesuai target MDGs, pada 2014 seharusnya telah mencapai 50% jumlah perumahan dan 40 juta sambungan air bersih.
Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Budi Hidayat mengatakan target pemenuhan sambungan air bersih sekitar 40 juta sambungan air bersih yang sesuai dengan target MDGs sulit tercapai.
"Saat ini baru 7 juta sambungan. Tampaknya sulit untuk memenuhi target itu. Baru 18%, untuk target 2009 sebesar 10 juta sambungan saja kita masih sulit," kata Budi.
Tetapi, upaya pengadaan air bersih itu bukan hal mudah. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, sekitar 2% per tahun, sulit diimbangi dengan pertumbuhan prasarana air bersih. Rina Garmina
Post Date : 21 Desember 2009
|