|
Ganti tahun baru, bukan berarti ganti hidup baru. Tahun 2006 baru mulai, untung Pemprov DKI Jakarta dengan tegas menyatakan akan menunda dulu tarif baru air minum, sekitar 17,32 persen. Tadinya tarif baru air minum semester I/2006 itu maunya berlaku kontan saat pergantian tahun. Namun ditunda sementara gara-gara banyak warga panik. Pelayanan buruk, tapi tarif naik lagi apakah dengan tarif baru nanti, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) berani menjamin kualitas kebersihan air minum, begitu komentar warga yang dikutip media massa. Sementara wakil rakyat di DPRD DKI yang suka angot- angotan kinerjanya itu tahu-tahu berkata tegas-tegas agar kedua operator yang ngantongin kontrak kerja 25 tahun, dari 1998 sampai 2022, itu memberikan laporan tertulis dulu kepada DPRD sebelum menaikkan tarif. Waterboeren Pancoran Soal keterbatasan air bersih dan air minum bagi warga kota ini, memang ceritanya bukan baru kemaren sore. Ibu Kota yang datarannya konon dialiri 13 sungai besar-kecil tetap saja kekurangan pasokan sumber air bersih untuk minum. Catatan F de Haan dalam Oud Batavia (1922-1923) menuturkan, Sampai akhir abad ke-19, Kali Ciliwung masih dipergunakan orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum. Air kali yang katanya masih bening itu, selain sumber air bersih, juga sarana vital orang Batavia termasuk londo-londo kumpeni itu untuk cuci-mandi dan kakus juga. Air kali yang mengalir dari pegunungan di selatan ditampung dulu dalam waterplaats atau aquada yang mirip waduk kecil. Waduk itu pertama-tama letaknya di dekat benteng Jacatra di bagian utara kota. Lalu wadah penampung air minum itu dipindahkan lagi ke tepian Molenvliet yang sekarang sekitaran kawasan Glodok. Waterplaats itu dilengkapi beberapa talang pancuran kayu untuk mengucurkan air dari ketinggian sekitar tiga meteran. Makanya daerah sekitaran waduk air bersih itu lama-kelamaan disebut pancoran oleh lidah orang Betawi. Air asal Pancoran itulah kemudian diangkut waterboeren atau penjual air untuk diperjualbelikan kepada warga yang butuh air minum, karena persediaan air hujannya sudah menipis dalam gentongnya. Di zaman itu kesadaran dan pengertian soal higiene dan kesehatan rupanya masih terbatas. Sebab warga Betawi masih cuek, juga tenang-tenang aja nenggak air Ciliwung mentah-mentah. Makanya tidak aneh kalau ada laporan pada paruh pertama abad ke-19, di Batavia berjangkit wabah tipus, disentri, dan juga kolera gara-gara mengonsumsi air Kali Ciliwung. Kualitas air sungai besar yang membelah Batavia itu memang sejak tahun 1685 sudah masuk dalam laporan sejarah De Haan. Katanya, air sungai itu mengandung binatang-binatang halus atau onzichtbare beesjes yang maksudnya kuman. Terutama air minum yang dikonsumsi mentah penduduk pribumi. Juga saat itu sudah ada seruan agar warga kota kuno itu jangan seenaknya dan bebas memakai kali sebagai jamban, juga lokasi mandi dan cuci. Sedangkan banyak warga memakai tempayan penampung air hujan serta menggali sumur juga sebagai cadangan air bersihnya. Namun Kali Ciliwung tetap favorit sebagai MCK, hingga airnya pun mulai kotor dan makin kotor dan mengandung binatang halus. Air Ciliwung yang kotor memaksa orang Belanda mengimpor air bersih untuk air minum dari Bogor. Malah disebut juga orang Belanda yang pejabat itu meminum air yang terjamin bersih dari Belanda. Benda cair impor dalam guci itu yang disebut seltzelwater itu konon seharga satu rijksdaalder alias seringgit. Sayangnya, air belanda itu hanya minuman orang Belanda dan orang kaya di Betawi, sekitar 250-an tahun lalu. Air kali kotor Ciliwung makin kotor dan kian tercemar. Pasokan air baku untuk air minum bagi warga Batavia dan Jakarta bertumpu pada pasokan air dari Bogor dan sekitarnya, termasuk sumur galian dan sumur pompa. Entah kapan mulainya, perusahaan air ledeng atau air minum itu tidak lagi memakai sumber air dari Ciliwung, malah memakai sumber baku dari Kali Cisedane, Pasanggarahan, dan Krukut, serta aliran sungai Kali Malang yang asalnya dari Kali Tarum Barat yang berinduk ke Sungai Citarum. Jaminan kebersihan pasokan air minum pun makin lama kian bikin takut. Sebab kandungan binatang halus air alami itu, katanya, makin menakutkan dan bawa maut. Air bersih di Jakarta ternyata air bakunya sudah tercemar sejak dari hulunya. Rudy Badil Post Date : 01 Februari 2006 |