Air Bersih Buruk

Sumber:Kompas - 22 Januari 2010
Kategori:Air Minum

Jakarta, Kompas - Selama 12 tahun terakhir, kinerja operator pelayanan air bersih di DKI Jakarta dinilai buruk. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan kontrak dengan dua operator layanan air bersih dan menerapkan kemitraan publik-publik.

Kemitraan publik-publik adalah kemitraan kelompok berdasarkan nilai-nilai dan tujuan bersama dengan tidak melibatkan pencarian keuntungan.

Permintaan Koalisi Rakyat ini didukung dua lembaga lain, yaitu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) dan Amrta Institute.

Patra M Zen dari YLBHI, Kamis (21/1), mengatakan, sesuai data dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BR PAM) DKI Jakarta, dua operator yang bekerja sama dengan PAM Jaya, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra, gagal memenuhi target.

”Ada tiga parameter kegagalan, yaitu jumlah volume air terjual, angka kebocoran tinggi, dan cakupan layanan rendah,” kata Patra membuka diskusi paparan hasil riset dan temuan kasus PAM Jakarta sekaligus mengumumkan desakan pemutusan kontrak konsesi air di Jakarta di Gedung YLBHI, Rabu.

Nila Ardhiane dari Amrta Institute menambahkan, dua operator air bersih justru dinilai fokus pada keuntungan dibandingkan meningkatkan investasi guna memperbaiki layanan.

”Dengan tarif air bersih di Jakarta 0,77 dollar Amerika Serikat per meter kubik, masyarakat di sini masih harus memasak air agar bisa dikonsumsi. Di Singapura, warganya hanya perlu membayar 0,55 dollar AS untuk air siap minum. Belum lagi ongkos manajemen teknis yang mencapai Rp 7.200 per meter kubik. Padahal, BR PAM DKI mengalkulasi, ongkos manajemen teknis hanya perlu Rp 2.000 per meter kubik,” kata Nila.

Profesor David Hall, peneliti layanan publik internasional dari Universitas Greenwich, Inggris, memperkuat penilaian buruknya pelayanan air bersih perusahaan swasta. Hasil penelitian Hall menunjukkan, 90 persen dari 400 negara di dunia telah atau sedang dalam proses pemutusan kontrak dengan perusahaan pelayanan air bersih swasta.

”Kualitas layanan perusahaan swasta, yaitu air kotor, harganya mahal, perusahaan bersangkutan tidak berinvestasi semestinya, seperti modernisasi teknologi distribusi air. Mereka juga mengambil profit terlalu tinggi,” kata Hall.

Saat ini, di Asia Timur, hanya tinggal Jakarta dan Manila, Filipina, yang masih mengandalkan perusahaan swasta. Malaysia saja sudah mulai menerapkan pelayanan air bersih dengan sistem kemitraan publik-publik.

”Sudah saatnya pemerintah di Jakarta menyatakan siap meninggalkan perusahaan swasta dan beralih ke kemitraan publik-publik,” kata Hall.

Keluhan dan kritikan terhadap kinerja operator air bersih sebelumnya telah ditanggapi perusahaan bersangkutan (Kompas, 20/1). Kepala Komunikasi Perusahaan PT Palyja Meyritha Maryanie dan Direktur Utama PT Aetra Syahril Japarin mengatakan, tingginya tarif air bersih terkait dengan besarnya nilai investasi untuk meningkatkan pelayanan. (NEL)



Post Date : 22 Januari 2010