Air Bawah Tanah Bogor Makin Kritis

Sumber:Suara Pembaruan - 21 April 2008
Kategori:Air Minum

Sulit dibayangkan daerah Bogor krisis air bawah tanah. Karena kalau dilihat dari topografinya, Bogor dikelilingi Gunung Salak, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun, dan Gunung Hambalang, yang semuanya merupakan sumber mata air yang jernih. Maka tak heran Kota Bogor selain dijuluki kota hujan, juga memiliki sumber mata air yang melimpah.

Tapi belakangan, julukan itu perlahan pudar. Akibat pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan, serta maraknya penyedotan air bawah tanah, ketersediaan air bersih di wilayah itu kian memprihatinkan. Kini ketersediaan air di wilayah Kota maupun Kabupaten Bogor berada di posisi "lampu merah". Artinya, ketersediaan air bersih kian kritis sebagai akibat banyaknya penyedotan air dengan menggunakan sumur bor (artesis) untuk kepentingan komersial.

Selain pemberian izin yang mudah untuk meeksploitasi air secara besar-besaran, pencurian atau eksploitasi ilegal oleh sejumlah perusahaan untuk kegiatan komersial juga semakin marak.

Bukti lain bahwa Bogor mengalami krisis air bawah tanah adalah data Peru- sahaan Daerah Air Minum (PDAM) baik Kota maupun Kabupaten Bogor, yang hanya 30 persen memproduksi air minum bagi para pelanggannya berasal dari mata air. Selebihnya, menggunakan air permukaan sungai yang dikhawatirkan tingkat higienisnya. Kondisi ini telah menjadi keprihatinan warga dan politisi di kota hujan itu, apalagi dengan pertumbuhan penduduk yang mencapai 900 ribu yang sudah tentu membutuhkan ketersediaan air yang cukup.

Izin Diubah

Ketua Komisi A, DPRD Kota Bogor, Jajat Sudajat mengungkapkan, peraturan perizinan pengambilan air bawah tanah di Kota Bogor yang berlaku saat ini sudah seharusnya diubah. Saat ini ketentuan pengambilan air bawah tanah mengenai syarat-syarat teknik diberikan oleh Provinsi Jawa Barat, sedangkan izin diberikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Padahal yang tahu kondisi di lapangan itu Pemkot Bogor. Jadi, sya- rat-syarat teknik seharus- nya diberikan oleh Pemkot Bogor.

Sementara itu, pajak pengambilan air bawah tanah yang berlaku 70 persen untuk Pemkot Bogor dan 30 persen untuk Provinsi Jabar. "Apalagi dengan adanya otonomi daerah, seharusnya Pemprov Jawa Barat menyerahkan sepenuhnya perizinan eksploitasi air bawah tanah itu ke Pemkot Bogor. Hal ini selain untuk efisien juga akan lebih terkendali," tandasnya.

Jajat mengakui, DPRD Kota Bogor baru saja melakukan sidak, selain ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor juga ke perusahaan-perusahaan untuk mengecek perizinan eksploitasi air bawah tanah tersebut. Tahap awal terutama di perusahaan yang mempergunakan air bawah tanah sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) seperti Bogor Trade Mall, Gumanti, Pangrango Plaza, dan sejumlah tempat komersial lainnya.

Dipilihnya perusahaan di sekeliling KRB itu, lanjutnya, mengingat KRB termasuk kawasan konservasi yang harus dijaga keberadaannya termasuk keberadaan sumber air di bawah KRB. "Sebaiknya, pihak swasta yang menggunakan air bawah tanah untuk tujuan komersial itu, pembayaran bulannya harus diubah menggunakan meteran," katanya.

Tidak seperti sekarang ini, lanjut dia, pihak swasta yang mengambil air artesis hanya dikenakan retribusi oleh pemda setempat dengan cara rata-rata sehingga rekening pembayarannya setiap bulan sama. "Padahal, secara ekonomis dan lingkungan hidup jelas hal itu merugikan negara karena berdampak ketersediaan air bawah tanah yang kian kritis," tegasnya.

Dadang Rochiyana, anggota DPRD Komisi C mengungkapkan hal senada. Menurut dia, kondisi air bawah tanah di Kota Bo- gor saat ini sudah cukup kritis. Penurunan air tanah mengkhawatirkan, terutama akibat menjamurnya pembangunan mal, pabrik , ruko, dan tempat komersial lain.

Sebagai indikatornya, kata dia, dulu kedalaman sumur di Kota Bogor sekitar 3-5 meter. Saat ini, air sumur di Kota Bogor baru didapat pada kedalaman antara 10 - 17 meter. Malah di kawasan dataran tinggi, kedalaman air sumur itu bisa lebih dari 25 meter.

Yang menjadi korban dari eksploitasi air besar-besaran oleh perusahaan dan pemilik gedung bertingkat adalah masyarakat kecil. Mereka hanya bisa mengandalkan air tanah ketika PDAM belum menyentuh wilayah mereka. Karena itu, adalah sangat arif jika Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor mengawasi secara ketat pengambilan air tanah yang berlebihan.

Rekomendasi DPRD

Mengantisipasi dampak yang timbul akibat eksploitasi air bawah tanah berlebihan, DPRD Kota Bogor telah mengirim rekomendasi ke perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, mal, dan lain-lain untuk tidak menggunakan air tanah, tetapi air PDAM. DPRD juga akan meningkatkan pengawasan dengan kerap melakukan sidak lapangan.

Terkait rekomendasi yang dikirim DPRD Kota Bogor, Kepala DLHK Kota Bogor, Iyus Herdiyus, menerangkan bahwa mereka juga dalam waktu dekat memberikan rekomendasi pengambilan air bawah tanah setelah pihak PDAM memberi informasi bahwa pihak PDAM Kota Bogor tidak bisa melayani permintaan air bersih ke pihak bersangkutan. "Jika PDAM masih bisa melayani permintaan air untuk perusahaan atau pabrik, maka pihak DLHK Kota Bogor tidak akan memberikan izin," ujar Iyus.

Berdasarkan pengawasan DLHK Kota Bogor, tercatat 111 perusahaan yang mempergunakan air bawah tanah secara legal dan 55 lainnya secara ilegal. Modus operandi yang ilegal adalah dengan cara membuat sumur artesis dengan kedalaman bervariasi. "Pihak swasta yang melakukan pengambilan air bawah tanah secara ilegal itu telah diberikan surat peringatan. Jika tiga kali surat peringatan tak diindahkan, maka kami akan menutup sumur artesis pihak swasta itu," ujarnya.

Hilal Thalib, Ketua Pembina Yayasan Bersih Indah Nyaman Bogor, mengatakan, pengambilan air bawah tanah yang berlebihan di kota hujan ini karena kurangnya sosialisasi atau terputusnya komunikasi antara pihak swasta dengan Pemkot Bogor sendiri.

Karena itu, pihaknya bersedia memfasilitasi kepentingan Pemkot Bogor dalam menginformasikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengeboran air bawah tanah, dan kepentingan perusahaan-perusahaan dalam advokasi (bimbingan hukum dan perizinan) baik yang memanfaatkan air bawah tanah maupun perusahaan jasa pelaksana pengeboran air tanah.

Menurut Hilal, dengan adanya mediasi tersebut diharapkan akan dapat menyelesaikan persoalan penggunaan air bawah tanah oleh perusahaan-perusahaan yang dinilai ilegal oleh Pemkot Bogor. Di sisi lain, dengan memburuknya kualitas lingkungan di Kota Bogor, sebagai dampak kesemrawutan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), sudah sepatutnya RUTR itu direvisi lagi dengan memper- hatikan aspek lingkungan hidup. [SP/Harinto/Epi Helpian]



Post Date : 21 April 2008