|
purwakarta, Kompas - Pasokan air baku dari Bendungan Ir Djuanda, Jatiluhur, yang kemudian diolah Perusahaan Air Minum DKI Jakarta makin kritis. Saat ini air yang didistribusikan melalui saluran Tarum Barat tengah diperebutkan petani untuk mengairi sawah dengan tanaman padi seluas sekitar 4.000 hektar. "Perum Jasa Tirta II sudah maksimum menyalurkan air dari Bendungan Djuanda. Kalau PDAM Jakarta mengalami kekurangan untuk diolah menjadi air bersih, itu disebabkan selama perjalanan dari pintu air Curug di Karawang menuju Jakarta ada pengambilan air oleh petani," kata Kepala Biro Pendayagunaan dan Konservasi Sumber Daya Air Perum Jasa Tirta II Sutisna Pikrasaleh, Rabu (19/7). Sutisna mengemukakan hal itu di Bendungan Cirata, Purwakarta, kepada rombongan dari Jakarta yang meliputi anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI, Komite Pelanggan Air Minum DKI, PT Pam Lyonaisse Jaya, dan beberapa wartawan. Kedatangan rombongan ini memang untuk mengetahui penyebab kekurangan pasokan air ke instalasi pengolahan air minum di Jakarta akhir-akhir ini. Menurut Sutisna, pada musim kemarau sekarang masukan air untuk Perusahaan Air Minum (PAM) DKI turun 20 persen. Sesuai data Senin lalu, debit air yang direncanakan untuk PAM DKI 16,2 meter kubik per detik turun menjadi 12,5 meter kubik per detik. Debit air itu terbagi untuk instalasi pengolahan air Pejompongan (4,3 meter kubik per detik), Pulo Gadung (3,9 meter kubik per detik), dan Buaran (4,3 meter kubik per detik). Sutisna melanjutkan, pola tanam padi, padi, dan padi sepanjang tahun oleh petani saat ini mengakibatkan pengambilan air dari saluran Tarum Barat terjadi terus-menerus. Padahal, semestinya pola tanam pada musim kemarau sekarang harus diselingi dengan tanaman palawija yang tidak membutuhkan banyak air. Pola tanam di sepanjang saluran Tarum Barat sekarang telah mengabaikan instruksi Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan. Dalam SK Gubernur Jawa Barat No 521/Kep.1065-Binprod/2005 itu diatur rencana tanam padi rendeng musim tanam 2005/2006, gadu 2006, serta palawija musim tanam 2006 di daerah irigasi Jatiluhur. Dua bulan Secara terpisah di Jakarta, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) DKI Budi Rama Natakusumah menjelaskan, kekurangan pasokan air baku untuk produksi air bersih di Jakarta bisa berlangsung hingga dua bulan ke depan. Sejak Juli hingga September diperkirakan curah hujan terus merosot dari 74,6 milimeter per bulan menjadi 45,2 milimeter per bulan. "Kalau prediksi ini benar, berarti kekeringan di sejumlah wilayah di DKI juga tak bisa dielakkan," kata Budi. Wilayah potensial kekeringan di Jakarta meliputi Cengkareng, Kali Deres, serta hampir semua wilayah di Jakarta Utara. Untuk mengatasi kekeringan air tanah dan ketergantungan terhadap pasokan air baku untuk air bersih dari Citarum, BPLH DKI mengusulkan agar sejumlah permukiman padat dibuatkan sumur air tanah dalam. Satu unit sumur itu bisa digunakan satu kampung untuk menggantikan setiap sumur air tanah dangkal atau pompa dengan sumur bor. Air bersih dari sumur dalam dengan kedalaman 200-300 meter itu supaya bisa didistribusikan ke rumah-rumah dalam satu RW. Cadangan air tanah dalam juga jauh lebih besar daripada air tanah dangkal yang cepat kering pada musim kemarau. "Saat ini yang menggunakan sumur air tanah dalam baru industri dan perhotelan, yang dikenai pajak oleh pemerintah," kata Budi. (RIS/NAW) Post Date : 20 Juli 2006 |