|
Jakarta, Kompas - Warga di Jakarta Utara, khususnya di daerah Pluit Timur, Pluit Barat, hingga Muara Karang, mengeluhkan mampatnya keran- keran air di rumah mereka sejak empat hari lalu. Meski pengatur aliran air sudah diputar maksimal, air tetap tak mengucur. Akibatnya, warga harus mengirit air. Pada hari keempat, Selasa (8/3), air tetap tidak mengalir, sementara persediaan air tinggal tersisa sedikit sehingga warga makin khawatir. Apalagi, kebanyakan warga tidak mempunyai sumur sehingga terpaksa membeli air bersih dari penjual air dorongan. "Namun, hari ini penjual dorongan juga sudah tak ada lagi, mungkin karena sangat laris. Saya sendiri belum sampai membeli air dorongan karena air di penampungan benar-benar kami irit. Kalau terpaksa sekali, bisa jadi air mineral dipakai untuk mandi," papar Ny Halim, warga RT 04 RW 06 di kompleks perumahan di Pluit Timur, Penjaringan, Jakarta Utara. Menurut dia, banyak tetangganya yang sudah membeli air dorongan dan kemarin kebingungan karena tidak ada lagi penjual air yang lewat. "Saya lalu menelepon Kantor PAM di Muara Karang, tetapi dioper ke pusat. Petugas di PAM pusat mengatakan, saat ini sedang tak ada produksi. Lha saya kan bingung. Saya tanya mengapa, tetapi mereka tidak menjawab. Kalau enggak ada air, ya repot sekali, karena itu kebutuhan vital," tutur Ny Halim. Warga di Pluit dan Muara Karang selama ini berlangganan air dari PT PAM Lyonnaise Jaya. Tak hanya di Pluit, di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur, aliran air juga tidak selancar biasanya. Ny Tun, warga RW 05 Pondok Bambu, Jakarta Timur, mengatakan, aliran air sangat kecil meski masih tetap lancar. Dia berlangganan air bersih dari rekanan PDAM DKI Jakarta lainnya, PT Thames PAM Jaya. Direktur Hubungan Institusi PT PAM Lyonnaise Jaya Kumala Siregar menjelaskan, banjir di Kalimalang menyebabkan air baku yang akan diolah menjadi air bersih banyak mengandung lumpur. Tingkat kekeruhan air yang masuk ke tempat pengolahan air minum di Pejompongan dan Cawang mencapai 8.000 Ntu. Padahal, batas normal kekeruhan air yang diizinkan hanya 600-800 Ntu. Akibatnya, air baku yang masuk harus diendapkan terlebih dahulu sebelum diolah. Kumala mengatakan, air baku yang keruh menyebabkan produksi air menurun 20-30 persen. "Gangguan di tempat pengolahan air menyebabkan sebagian wilayah tak mendapat distribusi air," ungkap Kumala. (IVV/IND) Post Date : 09 Maret 2005 |