Air Bakal Langka

Sumber:Suara Pembaruan - 06 Januari 2005
Kategori:Air Minum
KEJADIAN alam sedang mengajarkan kita betapa mencegah lebih baik, daripada menanggulangi bencana. Jangan sampai air mata akibat tsunami yang belum lagi kering sudah harus disusul oleh air mata lainnya.

Ancaman air akan menjadi barang yang langka sudah mulai diperdebatkan. Mereka yang memberanikan diri telah hadir sebagai wakil pemohon yang menuntut diujinya Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2004 yang mengatur tentang sumber daya air.

Mereka melihat UU itu memang cukup beralasan jika dikhawatirkan melahirkan praktik monopoli air. Padahal, air adalah kebutuhan utama manusia dan bagian dari hak asasi.

Begitu besar keyakinan akan bahaya itu, para pemohon pun kemudian menghadirkan sejumlah saksi ahli salah satunya adalah Charles Santiago.

Jauh-jauh datang dari Selangor, Malaysia, Charles masih nampak menggebu-gebu membeberkan pengetahuannya tentang swastanisasi dan privatisasi air.

Pada perdebatan berkepanjangan di berbagai media masa, lahirnya privatisasi dan swastanisasi juga cukup beralasan yakni karena badan usaha milik negara pengelola air di negeri ini sudah sekarat dan susah bernapas karena tercekik hutang.

Selidik punya selidik, kambing hitam pun dimajukan sebagai oknum. Pengelolaan keuangan perusahaan tidak transparan seperti air hasil pengelolaannya adalah biang keroknya. Alasan itu mungkin benar, tetapi justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.

Namun, kota di Barat Daya Brasil, Porto Alegre, membuktikan lain. Manajemen partisipasi yang diterapkan dengan mengajak masyarakat lokal dalam menentukan harga membuat perencanaan, dan investasi pengelolaan air menjadikan Porto sebagai kota yang sukses mengelola air.

Air yang hilang karena dicuri (non revenue water) telah berkurang sejak tahun 1991 sebesar 50 persen menjadi 34 persen pada tahun 2001. Pengelolaan air di kota itu pun sudah dijadikan teladan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) dalam bidang transparansi perkotaan dan pedesaan.

Sistem pastisipatif itu ternyata juga berhasil diterapkan di daerah berpenduduk yang banyak (1,7 juta orang) seperti Ghana, Brasil. Keberhasilan yang terbesar dirasakan masyarakat Penang Malaysia. "Studi perbandingan tarif air di 64 kota dari 38 negara yang ada di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika mengatakan tarif air di Penang adalah yang paling murah, yakni 22 sen per meter kubik.

Bandingkan dengan harga air yang dilepas dari Waduk Jatiluhur Rp 500 per meter kubik yang jika sampai kepada konsumen dapat mencapai harga Rp 1.700 per meter kubik," jelas Charles.

Otoritas air di Penang bahkan mampu membukukan keuntungan 40-50 juta Ringgit dan mampu melayani konsumen dari 99 persen penduduk kota dalam waktu 24 jam sehari. Tingkat kehilangan air di Penang pun hanya 18 persen.

Otoritas air yang bersangkutan pun sudah memiliki dana cadangan sebesar 223 juta Ringgit dan mencapai efisiensi penagihan sebesar 99 persen.

Kondisi perusahaan pengelolaan air di Indonesia saat ini sama dengan di Porto Alegre pada tahun 1980. Namun, ketika pemilihan umum (pemilu) dimenangkan Partai Pekerja (Working Party) badan usaha milik negara itu mulai diselenggarakan oleh publik dan transparan.

Dililit Utang

Privatisasi hanya dapat berjalan dengan baik jika ada lembaga nonpemerintahan yang memiliki komitmen untuk tetap kritis terhadap pemerintahan. Namun, apa yang terjadi di Indonesia, 80 persen dari 200 perusahaan air minum dililit hutang sehingga harus diprivatisasi.

Namun, banyak pihak mengkhawatirkan jika privatisasi itu justru tidak sesuai dengan tujuannya yakni untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan air.

Privatisasi perusahaan yang mempunyai sejarah terbelit utang sangat diragukan menerapkan manajemen yang transparan dan terbuka kepada publik. Terlebih, jika saham mayoritas sebuah perusahaan dikuasai oleh perorangan.

Dengan demikian, perusahaan akan kembali bermasalah terbelit utang atau membelit konsumennya. "Tinggal bilang perusahaan merugi dan menaikkan harga produksi. Masyarakat mana bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi karena tidak transparan dan memang berhak untuk tidak terbuka kepada masyarakat umum," tegas Raja.

Singkatnya, masyarakat adalah sumber daya manusia yang dapat diajak bekerja gratis memelihara kepentingannya sendiri. Terlebih lagi jika, masyarakat itu diajak sebagai salah satu pemilik saham. Dengan demikian, efisiensi kebocoran air meningkat karena masyarakat sudah termotivasi untuk memperbaikinya. Selain itu, pemeliharaan perlengkapan distribusi juga akan termonitor dengan baik.

Seperti di Penang, saham pengeloaan air selain dimiliki negara bagian, ada sebesar 15 persen saham diberikan kepada konsumen. Kalau sudah merasa memiliki dan semua serba terbuka, siapa lagi yang mau korupsi?

Kehadiran UU Nomor 7 /2004 dikhawatirkan memunculkan monopoli atas air dan mengancam para petani kecil yang justru adalah mayoritas di kawasan Asia termasuk Indonesia.

Alasannya, pasal-pasal yang terkandung di dalamnya tidak membatasi sumber daya air seperti apa yang dapat diprivatisasi. Jangan-jangan air untuk irigasi persawahan pun harus dibayar.

Sehingga petani kecil yang justru jumlahnya banyak dan menjadi penyangga ketahanan pangan nasional justru dimatikan.

Saat ini, di sejumlah daerah yang jauh dari pandangan penduduk kota para pemilik modal sudah saling berebut mata air.

Sejumlah petani di daerah penghasil beras mulai mengeluh. Akankah kita terlena kembali?
PEMBARUAN/YAHYA ROMBE

Post Date : 06 Januari 2005