|
Ambisi pemerintah tak lagi sebesar tahun lalu. Proyek infrastruktur yang ditawarkan lebih selektif, investor siap menagih janji. Pekerjaan rumah masih bertimbun. BUKAN kebiasaan Boediono tampil menonjol di muka publik. Tapi, apa boleh buat, pada Senin pekan lalu Menteri Koordinator Perekonomian itu hadir di depan para pemimpin media massa nasional. Bertempat di Ruang Bimasena Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, ia langsung menyambar mikrofon. Saya yang memoderatori, katanya membuka percakapan seusai santap malam bersama. Di sana hadir sejumlah menteri ekonomi: Purnomo Yusgiantoro (Menteri Energi), Paskah Suzetta (Kepala Bappenas), Hatta Rajasa (Menteri Perhubungan), Djoko Kirmanto (Menteri Pekerjaan Umum), plus Sofyan Djalil (Menteri Komunikasi). Menyusul Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang datang terlambat. Bisa ditebak acara malam itu terbilang penting. Adapun maksudnya, kata Boediono, tak lain untuk memberikan gambaran ekonomi makro Indonesia yang mulai pulih. Agenda penting lainnya membahas rencana forum investasi bertajuk Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE), yang akan digelar dua hari kemudian. Kedua persoalan ini memang rada gawat. Untuk soal pertama, berbagai hasil survei, seperti diberitakan majalah Tempo (edisi khusus, 29 Oktober 2006), menunjukkan kinerja kabinet ekonomi selama dua tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla jauh dari memuaskan. Sejumlah pengusaha bahkan memberikan nilai merah pada rapor para menteri ekonomi. Untuk soal ini, Boediono menjelaskan, boleh dibilang ekonomi makro Indonesia kini sudah membaik. Pertumbuhan ekonomi, yang sejak kuartal kedua tahun lalu terus merosotakibat kenaikan harga bahan bakar minyakpada kuartal ketiga mulai meningkat. Ada perbaikan riil, bukan sekadar ilusi statistik, katanya. Meski begitu, diakuinya sejumlah bolong masih tampak di sana-sini. Untuk menyerap pengangguran, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tahun ini diperkirakan cuma 5,8 persen harus digenjot lebih tinggi. Setidaknya, dalam tiga tahun mendatang harus di kisaran 6-7 persen, dan pada 2010 harus di atas 7 persen. Stabilitas tanpa pertumbuhan akan membuat ekonomi runtuh, katanya. Kunci mencapai cita-cita itu, ya masuknya investasi ke dalam negeri. Rasio investasi terhadap produk domestik bruto, yang kini masih sekitar 25 persenlebih rendah dari sebelum krisis 30 persenbelum cukup untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi 7 persen. Nah, dalam konteks itulah, kembali digelar forum investasi Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition untuk menggaet dana pembiayaan infrastruktur. Ini jelas bukan perkara gampang. Apalagi forum hampir serupa, bernama Indonesia Infrastructure Summit I, yang digelar pada Januari 2005, boleh dibilang gagal. Di tengah pesimisme itulah bisa dipahami jika Boediono meminta dukungan semua pihak, termasuk para pemimpin media massa. Pertanyaan demi pertanyaan dijawabnya tangkas. Para menteri pembantunya pun diminta memberikan penjelasan singkat atas berbagai persoalan. PROYEK infrastruktur bagaimanapun punya peranan sentral buat perekonomian Indonesia. Tanpa membangunnya, bisa dipastikan roda ekonomi tak bakal lincah menggelinding. Dalam soal listrik, misalnya, Rasio elektrifikasi kita baru 55 persen, kata Menteri Purnomo. Artinya, dari total penduduk Indonesia yang sekitar 230 juta jiwa, baru setengahnya yang menikmati aliran listrik. Karena itulah pemerintah memancang target: hingga 2010 akan dibangun sejumlah pembangkit listrik baru untuk menambah pasokan 25 ribu megawatttermasuk pengalihan dari bahan bakar minyak ke batu bara dan gas. Pembangunan proyek infrastruktur juga amat mendesak di sektor transportasi. Jumlah penumpang yang kian meningkat di kota besar, seperti Jakarta, mengharuskan segera dibangunnya jalur kereta baru untuk menggantikan peran sentral jalan bagi kendaraan angkutan umum. Selain membangun jalur rel ganda, juga telah direncanakan membangun rel kereta dari dan menuju bandara. Sejumlah pekerjaan raksasa juga menanti Departemen Pekerjaan Umum. Tak hanya membangun jalan, departemen ini pun punya kewajiban melipatgandakan jumlah irigasi. Diharapkan, kata Menteri Djoko Kirmanto, pada akhir 2009 kita sudah punya jaringan irigasi yang bisa mengairi 7,2 juta hektare sawah, agar kebutuhan pangan di dalam negeri tercukupi. Yang tak kalah penting adalah pembangunan infrastruktur kota untuk menanggulangi banjirnya arus urbanisasi. Persoalannya, kata Djoko, ini tidak murah. Kalau mau sepadan, Saban tahun harus dibangun infrastruktur kota sebesar Bandung, ujarnya. Dari proyek-proyek itu saja bisa dibayangkan berapa besar dana yang dibutuhkan. Tim ekonomi SBY-JK pada awal pemerintahannya pernah berhitung, sedikitnya perlu Rp 1.400 triliun selama lima tahun untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 6,6 persen setahun. Dana sebesar itu jelas tak bakal bisa dikaut dari brankas pemerintah. Sekitar 60 persennya harus datang dari sektor swasta asing dan domestik. Dari situlah kemudian muncul ide menggelar Indonesia Infrastructure Summit I, awal Januari tahun lalu. Saat itu, untuk setahun pertama ditawarkan 91 proyek senilai US$ 22,5 miliar (Rp 204,7 triliun). Mulai dari proyek gas, listrik, air minum, jalan tol, rel kereta, telekomunikasi, hingga bandar udara. Ratusan investor pun berbondong-bondong datang. Tapi sayang, gemuruh pertemuan puncak semasa Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie itu tak berlangsung lama. Proses tender belakangan hanya terdengar sayup-sayup, bahkan sebagian besar mandek. Nol besar? Tidak juga, kata Boediono, menyebut sejumlah keberhasilan di proyek jalan tol dan air minum. Bahkan, kata Kepala Bappenas Paskah Suzetta, tingkat keberhasilannya mencapai 46 persendalam arti sudah ditenderkan dan ada pemenangnya. Kendati mesti buru-buru diberi catatan, sebagian besar proyek itu tergolong dagangan lama yang ditender ulang, bukan barang baru. Sejumlah faktor disebut menjadi penyebab kegagalan itu. Yang banyak dikeluhkan investor adalah ketiadaan jaminan pemerintah atas masalah pembebasan lahan dan keberlangsungan proyek. Dari sisi kesiapan, proyek yang ditawarkan pun boleh dibilang ala kadarnya. Dulu seperti cuma list proyek, kata Imron Bulkin, Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Infrastruktur. Dan yang menyulitkan, proses transaksi proyek tak didahului dengan reformasi kebijakan, tapi berjalan paralel. Belajar dari sejumlah kesalahan itu, setelah hampir dua tahun berselang, pekan lalu kembali digelar ajang temu investor di Jakarta Hilton Convention Center. Tak hanya namanya yang berubah menjadi Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition, tapi juga bentuk penyelenggaraan dan proyek yang ditawarkan. Kali ini, di bawah kendali Boediono, pemerintah tak terlalu ambisius. Meski totalnya ada 111 proyek senilai US$ 17,1 miliar yang dijajakan, yang diprioritaskan sesungguhnya cuma 10 proyek model seharga US$ 4,5 miliar (sekitar Rp 41 triliun). Kami menawarkan jumlah yang tidak terlalu banyak, tapi disiapkan lebih baik, kata Boediono. Dengan begitu, diharapkan bisa mengundang lebih besar peminat. Ini bedanya gaya birokrat dan pengusaha, kata seorang pejabat pemerintah, berseloroh. Sejumlah langkah terobosan pun dibuat. Salah satunya dengan membuka klinik departemen yang diasuh oleh menteri bersangkutan. Di sinilah para investor bisa menanyakan langsung berbagai problem yang dihadapi. Agar lebih menarik, pemerintah pun telah menyiapkan gula-gula investasi. Salah satu yang paling konkret adalah pemberian dukungan pemerintah atas pelaksanaan proyek yang ditenderkan. Bentuknya berupa kompensasi finansial yang akan dibayarkan pemerintah dan pembagian risiko proyek. Risiko proyek yang dijamin mencakup risiko politik, kinerja proyek, dan permintaan, yang sebagian atau seluruhnya dalam kendali pemerintah. Singkatnya, bila terjadi kerugian akibat kebijakan pemerintah, negara akan memberikan kompensasi. Begitu pula bila terjadi keterlambatan pengadaan tanah, penyesuaian tarif, ataupun anjloknya permintaan atas barang dan jasa yang dihasilkan proyek, yang tak sesuai dengan perjanjian. Segala upaya itu tak sia-sia. Tanggapan positif datang dari investor dalam dan luar negeri. Pemerintah kini benar-benar serius, kata Juergen D. Lagleder, Wakil Ketua Kamar Dagang Eropa di Indonesia, seperti dikutip The Jakarta Post. Penciutan menjadi hanya 10 proyek unggulan pun, kata Presiden Direktur PT Siemens Indonesia ini, lebih realistis ketimbang tahun lalu. Acara pun berlangsung semarak. Meski setiap peserta kini dikenai biaya US$ 750, ajang ini berhasil menggaet 500 peserta. Sejumlah stan pameran pun ramai dikunjungi. Salah satunya, stan PT Angkasa Pura II yang menawarkan proyek pembangunan rel kereta yang akan menghubungkan stasiun Medan dan bandara. Investor dari Inggris dan Malaysia sudah menyatakan minatnya, kata Salahudin Rafi, staf Angkasa Pura, kepada Tempo. Sektor air minum, seperti proyek Bandung Water Supply, Dumai Water Supply, dan Tangerang Water Supply senilai US$ 107 juta, juga termasuk yang dilirik investor. Salah satunya adalah PT UE Amiwater Tirta, anak perusahaan United Engineer Amiwater Pte. Ltd., yang berbasis di Singapura. Meski begitu, Imron mengingatkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah masih bertimbun. Berbagai paket kebijakan yang dikeluarkan untuk mendorong investasi belum dilengkapi aturan petunjuk pelaksanaannya. Tanpa itu, pejabat di daerah dikhawatirkan tak akan berani banyak berbuat. Persoalan lainnya, revisi Undang-Undang Transportasi yang memungkinkan masuknya sektor swasta pun masih ngendon di DPR. Jika ini semua tak segera diselesaikan, niscaya kegagalan tahun lalu bakal terulang. Metta Dharmasaputra, Danto Post Date : 06 November 2006 |