|
Lagi-lagi sampah kota menimbulkan malapetaka. Setelah Leuwigajah di Bandung, timbunan sampah yang longsor menewaskan tiga pemulung di Bantar Gebang, Bekasi. Beberapa kota besar memang menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Jakarta menghasilkan 6.000 ton per hari, Bandung menghasilkan 5.000 ton, dan Bogor diperkirakan mencapai 1.000 ton. Agar tidak menimbulkan malapetaka, cara-cara penanganan sampah yang selama ini dilakukan harus ditinggalkan. Pertama, karena tidak ada seseorang atau sekelompok orang yang bersedia tempatnya atau lingkungannya digunakan untuk membuang sampah. Kedua, karena pencemaran yang ditimbulkannya. Ketiga, hanya menguntungkan segelintir pengusaha/oknum pejabat. Keempat, rawan longsor. Lalu pemecahan apa yang bisa dilakukan? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengatur kembali kelembagaan yang ada. Lalu, pemerintah harus menerbitkan peraturan tentang tata cara penanganan sampah sesuai paradigma baru. Selama ini penanganan limbah pasar menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan. Personel Dinas Kebersihan pada umumnya adalah pegawai negeri dengan tata laksana kerja yang tidak mendukung penanganan sampah pasar secara optimum dan profesional. Padahal, penyumbang sampah terbesar adalah pasar. Seperti halnya pabrik dan rumah sakit, pasar harus dipandang sebagai unit usaha yang memiliki tanggung jawab untuk mengolah limbah yang dihasilkan. Pengelola pasar juga harus bertanggung jawab mencari lokasi penanganan limbah pasar, bukan gubernur atau wali kota. Dengan demikian, jika terjadi pencemaran atau kecelakaan dalam penanganan limbah, yang wajib dituntut adalah pengelola pasar, bukan wali kota atau gubernur. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Negara Lingkungan Hidup, juga harus menerbitkan peraturan tentang bagaimana penanganan limbah pasar yang benar sesuai dengan paradigma baru. Tanggung jawab pengelola pasar bisa jadi hanya sampai pemisahan sampah, yaitu logam, gelas, plastik, dan bahan organik. Pemisahan bahan baku dapat dilakukan langsung di pasar atau di lokasi lain yang harus disediakan pengelola pasar. Kepada para pedagang, pengelola dapat mewajibkan untuk memisah sampahnya sejak awal. Pedagang yang tidak taat harus dikenai sanksi. Jika ini dilakukan, pengelola pasar tidak perlu menyediakan mobil pengangkut sampah karena pengusaha logam, gelas, plastik, dan kompos akan mengambilnya langsung. Jika sampah harus dibawa dulu ke lokasi pemisahan di luar pasar, pengelola pasar wajib mencari tempat pemisahan dan sarana transportasi ke lokasi. Begitu juga di tingkat RW Penanganan sampah rumah tangga harus dilakukan dengan pola yang sama, dengan tingkat rukun warga (RW) sebagai unit usaha. Sebab, selama ini RW sebenarnya juga sudah menjalankan fungsi unit usaha lewat kegiatan pemungutan biaya kebersihan, perbaikan jalan, dan keamanan lingkungan, meski tujuannya bukan mencari untung. Seperti halnya pasar, pengurus RW harus bertanggung jawab dalam pengelolaan limbah rumah tangga. Jika terjadi pencemaran terhadap lingkungan atau fatalnya jika terjadi kecelakaan dalam penanganan limbah, yang wajib dituntut adalah masyarakat di RW tersebut. Kondisi demikian sudah berjalan sejak lama di negara-negara maju. Dengan cara ini, sebenarnya RW berpeluang menghasilkan uang yang kemudian bisa dikembalikan kepada masyarakat. Sumber pendapatan dapat diperoleh dari penjualan bahan-bahan bekas yang sudah dipisahkan. Guna mendorong terlaksananya program tersebut, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang terkait. Misalnya, mulai saat ini pengembang perumahan wajib menyediakan tempat dan peralatan yang diperlukan untuk pemrosesan limbah rumah tangga. Banyak hal yang dapat dihemat pemerintah jika sistem baru tersebut diterapkan. Di antaranya adalah tidak perlu menyediakan alat pengangkut, tempat pembuangan sementara, tempat pembuangan akhir, dan insenerator. Di samping itu, masalah pencemaran lingkungan dapat diatasi dengan baik. Dampak lain yang cukup signifikan adalah tersedianya kompos dalam jumlah yang mencukupi untuk disalurkan di lahan pertanian di pedesaan. Jika ini dilakukan, tragedi Leuwigajah dan Bantar Gebang tidak perlu lagi terjadi. Darmono Taniwiryono Ahli Peneliti Utama di Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Post Date : 19 September 2006 |