Masyarakat Jakarta masih mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal defisit air di Ibu Kota kian hari kian besar. Harus ada langkah-langkah pencegahan sebelum krisis air memuncak. Berikut ini adalah satu dari lima tulisan untuk menggambarkan pentingnya penyediaan air bersih bagi masyarakat.
Jakarta adalah kota yang dahaga. Setiap tahun penduduk Ibu Kota membutuhkan sekitar 765 juta meter kubik air bersih. Jumlah itu hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan untuk industri dan perkantoran, jumlahnya tentu lebih besar.
"Total kebutuhan air per tahun diperkirakan mencapai 1 miliar meter kubik," kata anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, Firdaus Ali, dua pekan lalu.
Dulu, Sungai Ciliwung bisa mencukupi kebutuhan air bersih bagi penduduk Batavia. Namun, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan memburuknya kualitas air sungai, air bersih semakin sulit didapat.
Pemerintah Jakarta, lewat Perusahan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PDAM Jaya), tidak menutup mata terhadap kebutuhan itu. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta digandeng untuk memproduksi air bersih. "Faktanya, layanan PDAM baru mencakup 44 persen dari penduduk Jakarta," kata Firdaus yang menjadi pengajar teknik lingkungan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini.
Ada 13 aliran sungai yang melintas wilayah Jakarta. Sayang, hanya air dari Kali Krukut yang bisa diproduksi menjadi air bersih. Itu pun dengan kemampuan sangat kecil, yaitu 400 liter per detik atau 4,6 persen dari produksi air PDAM. Sisanya, PDAM mengandalkan Sungai Cisadane dan aliran air dari Waduk Jatiluhur di Kanal Tarum Barat (KTB).
Mereka yang tidak terlayani PDAM, kata Firdaus, mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, persediaan air tanah semakin berkurang. "Pada 2027, air tanah Jakarta habis. Tapi sebelum itu Jakarta sudah tenggelam," katanya.
Tenggelam? Ya, gara-gara penyedotan air tanah secara massal dan terus-menerus, permukaan tanah Jakarta ambles hingga 20 sentimeter per tahun.
Berdasarkan hasil penelitian pada 2008, kata Firdaus, air tanah dari Bogor dan Depok tak pernah sampai ke Jakarta. Aliran air terbendung batuan masif yang berada di perbatasan Depok dan Jakarta. Kesimpulan ini diperkuat oleh penelitian 2009 yang dilakukan Robert Delinom, peneliti geohidrologi di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Jadi, air tanah yang selama ini disedot warga Jakarta adalah air purba. "Atau air permukaan yang kedalaman maksimal hanya 40 meter," ujar Firdaus. Usia air purba itu diperkirakan sudah mencapai 14.300 tahun pada 1985.
Dengan adanya penurunan permukaan tanah itu, Firdaus memperkirakan, pada 2050, garis pantai Jakarta akan berada di kawasan Hayam Wuruk. Jika penyedotan air tanah tidak dihentikan dari sekarang, garis pantai itu bisa berada di kawasan Semanggi pada 2050.
Sebelum bencana itu tiba, Firdaus menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang bisa menghentikan eksploitasi air tanah. Tapi kebijakan itu harus dibarengi dengan penyediaan air bersih yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.SOFIAN
Post Date : 10 Maret 2010
|