|
Teknologi pengolahan air makin berkembang. Ketersediaan air bersih dan sistem sanitasi sangat memprihatinkan. Kelak bukan tak mungkin air bersih menjadi barang langka. Bagi sebagian orang, masalah kebersihan air tampak sepele. Tapi coba simak pengamatan Almud Weitz, Ketua Program Sanitasi dan Air untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik. Ia mengungkapkan, sebanyak 80 juta orang Indonesia tidak memiliki fasilitas sanitasi. ''Ini berpotensi mengakibatkan kerugian sebesar US$ 6,3 milyar per tahun,'' kata Weitz dalam suatu lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta, Maret lalu. Sanitasi yang buruk, menurut Wetz, menyebabkan penyebaran penyakit, seperti wabah diare. ''Penyakit ini telah mencabut nyawa sekitar 100.000 anak tiap tahun di dunia,'' katanya. Masalah angka kematian itu bisa saja diperdebatkan, tapi masalah sanitasi memang tak bisa ditawar lagi. Karena itu, betepatan dengan Hari Air Sedunia 2008, masalah sanitasi menjadi isu sentral. Indonesia memperingatinya dengan mengadakan pameran teknologi sanitasi dan pengolahan air di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, 27-29 Maret lalu. Berbagai produk yang berkaitan dengan pemanfaatan air ditawarkan di sana. Dari pengolahan air limbah, alat-alat pengendali banjir, hingga perlengkapan untuk mendukung sistem pengairan. Setidaknya ada 127 perusahaan yang ikut dalam pameran itu. ''Masalah air adalah salah satu hal yang perlu menjadi prioritas utama pemerintah pada saat ini,'' kata Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto. Ia menyebutkan, kini terjadi ketidakseimbangan neraca air di Indonesia. Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari luas nasional, misalnya, hanya mampu menampung 4,5% ketersediaan air nasional. Sedangkan jumlah penduduk Pulau Jawa mencapai 65% dari total populasi nasional. Porsi air terbanyak berada di Sumatera dan Kalimantan. Kelak bukan tak mungkin air menjadi barang langka. Pelayanan Air Bersih: Memprihatinkan Hampir semua sumber yang dihubungi Gatra merasa prihatin atas kondisi tata air di Indonesia. Mulai pengelolaan air bersih, pelayanan air bersih, proses pengolahan air, hingga ketersediaan air bersih. Lihat saja hasil pengamatan Waspola soal pelayanan air bersih. Lembaga yang menjalin kerja sama dengan Bappenas-AUSaid-Bank Dunia untuk mengurusi masalah sanitasi dan air bersih itu mengungkapkan, pelayanan kualitas air bersih di Indonesia pada saat ini masih rendah. ''Tak sampai separo yang relatif masih baik,'' tutur Koordinator Proyek Waspola, Sofyan Iskandar. Menurut dia, hanya sekitar 18% penduduk perkotaan di Indonesia yang pada saat ini dapat menikmati air bersih melalui perusahaan air minum (PAM). Selebihnya mendapatkan air bersih dengan cara masing-masing. Misalnya menggali sumur atau menampung air hujan. ''Di daerah luar perkotaan, air hujan masih digunakan untuk keperluan sehari-hari,'' kata Sofyan. Itu belum bicara soal sanitasi. Sebenarnya masalah air minum dan sanitasi merupakan persoalan yang harus dikelola secara terpadu. Sayang, menurut Sofyan, kesadaran masyarakat dan pemerintah mengenai masalah ini masih minim. Lihat saja, dari seluruh kota besar di Indonesia, cuma ada enam kota yang memiliki sistem sanitasi terpusat. Yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Cirebon, dan Medan. ''Itu pun jangkauan layanan sanitasi masing-masing wilayah masih sangat kecil,'' ujar Sofyan. Contohnya, di Jakarta hanya ada di kawasan Kuningan, di Bandung cuma bisa mencapai 20% wilayah, sedangkan kota lainnya lebih kecil lagi. ''Itu menunjukkan bahwa perhatian pemerintah sangat kurang. Belum banyak daerah yang memiliki program untuk mengatasi sanitasi,'' katanya. Kondisi itu wajar saja, toh anggaran daerah untuk program sanitasi masih sangat kecil. ''Tak lebih dari 1% dari APBD. Ini amat menyedihkan,'' kata Sofyan. Melihat kondisi dan masalah tata air serta ketidakpedulian warga itu, Sofyan berkesimpulan bahwa Indonesia telah memasuki krisis air. Masalah ketersediaan air bersih memang masih menjadi keprihatinan para ahli konservasi air. Menurut Direktur Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kardono, potensi dan ketersediaan air di Indonesia pada saat ini diperkirakan 15.000 meter kubik per kapita per tahun. Angka ini masih jauh lebih tinggi dari rata-rata pasokan dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. ''Tapi penurunan kualitas dan kuantitas airnya berjalan terus,'' ujar Kardono. Ia pun membeberkan perkiraan hitungannya tentang pasokan air bersih Indonesia. Awalnya, Pulau Jawa masih mampu memasok air bersih 4.700 meter kubik per kapita per tahun pada 1930. Namun kini, total potensinya hanya tersisa sepertiga atau 1.500 meter kubik per kapita per tahun. Pada 2020, diperkirakan total potensi yang tersisa hanya 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Padahal, menurut Kardono, air yang layak dikelola secara ekonomi hanya 35%. Itu masih dikurangi lagi sebesar 6% untuk upaya penyelamatan saluran dan konservasi sungai-sungai. Akibatnya, potensi yang tersisa hanya mencapai 400 meter kubik per kapita per tahun. ''Ini jauh di bawah angka standar minimum yang ditetapkan PBB, yakni sebesar 1.000 meter kubik per kapita per tahun. Jadi, saya setuju bahwa Indonesia pada saat ini mengalami krisis air,'' kata Kardono. Data krisis air itu klop dengan sejumlah hasil penelitian lainnya. Misalnya, Water Resorces Development mencatat, Pulau Jawa sebenarnya telah mengalami defisit air, dari kebutuhan 66.336 juta meter kubik per tahun tinggal tersedia 43.952 juta meter kubik per tahun (1990). Dalam perhitungan neraca air versi Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) tercatat, secara nasional memang belum terjadi defisit air (1997). Tapi khusus untuk Jawa dan Bali sudah terjadi defisit (2000). Kawasan krisis air itu terus meluas ke wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (diperkirakan pada 2015). Penyebab terjadinya krisis air, selain kondisi alam, juga makin padatnya penduduk bumi. Akibatnya, ruang untuk proses sanitasi air kian sempit, bahkan tidak ada sama sekali. Di tingkat rumah tangga, misalnya, soal jarak ideal antara sumur dan WC yang mencapai 10 meter. ''Jarak itu di rumah kita mungkin dapat diatur sepanjang 10 meter. Tapi, siapa bisa menjamin jarak itu dengan WC tetangga karena jumlah penduduk yang makin padat?'' tutur Sofyan. Kardono melihat hal serupa. Populasi penduduk yang padat juga tidak memberi kesempatan terjadinya proses konservasi air. Misalnya, menurut catatan Kardono, rata-rata sebanyak 50.000 hektare lahan hutan dikonversikan menjadi lahan pertanian. ''Padahal, untuk menggantikan lahan hutan yang hilang tadi, diperlukan lahan marginal setidaknya mencapai 250.000 hektare agar produksi padi tidak berkurang,'' kata Kardono. Yang paling membuat kondisi air merana adalah rusaknya daerah aliran sungai (DAS). ''Masalahnya, kerusakan DAS ini nantinya dapat berujung bencana lainnya, seperti banjir, kekeringan, pencemaran, hingga sedimentasi,'' ujar Kardono. Pada saat ini, hampir semua sungai di kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya telah tercemar berat oleh limbah rumah tangga, industri, dan pertanian. ''Jumlah limbah ini makin hari makin membesar,'' Kardono menambahkan. Kondisi itu diperburuk dengan rendahnya kesadaran warga akan sanitasi dan konservasi air. ''Bahkan kualitas air di perairan Teluk Jakarta makin buruk dari tahun ke tahun,'' ujarnya. Persoalan ini akhirnya memuncak dengan terjadinya perubahan iklim setempat. ''Ketika kemarau, kita kekurangan air. Tapi, pada saat musim hujan dan air melimpah, kualitasnya justru jelek,'' kata Sofyan. Maka, bisa saja pada suatu daerah terjadi kemarau tapi di kawasan lain terjadi banjir. Karena itulah, sejumlah pakar air yang dikontak Gatra ramai-ramai menyerukan diadakannya aksi bersama menyelamatkan sumber air, mengatur kembali tata ruang yang ada, termasuk selalu mengawasi tata air. Peraturan tentang tata ruang, menurut Sofyan, juga harus ditegakkan. Dari peraturan pembatasan bangunan, pelarangan penebangan hutan, konversi lahan, hingga penguasaan sumber-sumber air oleh lembaga atau individu tertentu. Di kawasan permukiman harus dibuat resapan-resapan air tersendiri. ''Intinya, kita harus memberikan kesempatan pada air untuk mendapatkan fitrahnya kembali,'' ujar Sofyan. Yang dimaksud Sofyan, air dapat kembali menjalankan siklus hidrologinya dengan lancar dan nyaman: turun dari langit menyerap ke tanah, sebagian mengalir ke sungai-laut, dan kembali menguap ke awan. ''Tidak seperti yang terjadi sekarang, kebanyakan air justru langsung menggelontor ke laut. Siklus peredarannya yang harus dikembalikan,'' katanya. Malangnya, resapan air yang paling sederhana sekalipun, kata Sofyan, belum banyak diterapkan masyarakat. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah atau pihak yang berwenang. Sejumlah teknologi sederhana untuk membuat resapan air banyak diciptakan lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Salah satu yang paling mudah dikerjakan adalah dengan lubang resapan biopori hasil kreasi Kamir R. Brata, dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Membuat biopori gampang saja, tinggal melubangi tanah sedalam 80-100 sentimeter dengan diameter 8-10 sentimeter. Lubang biopori itu kemudian diisi dengan sampah-sampah organik. Tujuannya, untuk menjaga konservasi tanah. ''Banyak teknologi resapan air sederhana yang dapat dikembangkan, tinggal kemauan warga dan political will pemerintah,'' kata Sofyan. Teknologi Pengolahan Air Sejauh ini, menurut Kardono, BPPT melalui Pusat Teknologi Lingkungan telah mengembangkan banyak teknologi pengolahan air bersih dan limbah cair. Perkembangan itu banyak bergantung pada jenis air atau limbah itu sendiri. ''Artinya, kita harus memperhatikan polutan-polutan apa saja yang harus dijernihkan,'' ujar Kardono. Teknologi pengolahan air sejauh ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni secara fisik, kimia, dan biologi (lihat tabel). Namun, Kardono melanjutkan, sebenarnya perkembangan teknologi pengolahan air itu sangat bergantung pada besarnya permintaan terapan. Jika permintaan terapan ini banyak berkembang, kesempurnaan teknologi itu pun akan ikut maju. Hanya saja, menurut pengamatan Kardono, permintaan teknologi pengolahan air terapan masih belum seperti yang diharapkan. ''Semangat untuk mengolah air itu belum begitu kelihatan gaungnya, baik di kalangan industri maupun masyarakat,'' tutur Kardono. Gejala ini sangat jelas terlihat pada pengolahan limbah cair. Betapa tidak, dari hasil pengamatan Kardono, hanya sekitar 400 dari sekitar 4.000 industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Artinya, hanya sekitar 2% air limbah Jakarta yang mengalir ke instalasi pengolah limbah. Selebihnya? Ya, langsung digelontorkan ke sungai-sungai di Jakarta. Kondisi ini juga terjadi di tingkat penduduk. Hanya sekitar 39% warga Jakarta yang memiliki septic tank, dan 20% menggunakan lubang kakus biasa tanpa tangki (pit latrines). Sofyan sependapat dengan Kardono bahwa perkembangan teknologi pengolahan air di Indonesia sejauh ini memang sangat dipengaruhi masalah air yang dihadapi. Perkembangan itu terjadi pada tingkat lembaga seperti lembaga penelitian dan individu. ''Peralatan penjernih air sederhana, misalnya, pada saat ini banyak beredar di pasaran untuk skala rumah tangga,'' kata Sofyan. Hanya saja, menurut Sofyan, pemerintah atau lembaga yang berwenang perlu turun tangan untuk mengatasi krisis air di daerah-daerah kering atau sulit air. ''Misalnya, untuk kalangan rumah tangga, terutama di pinggir pantai atau daerah nelayan, bisa digunakan teknologi destilasi dengan penguapan,'' ujar Sofyan. Awalnya, air laut ditampung dalam sebuah wadah yang di atasnya dibuatkan bak untuk menampung uap air laut. Dengan penguapan, kandungan mineral air dapat tertinggal. Setelah dimasak, air hasil penguapan itu layak diminum. ''Teknologi ini belum banyak dikembangkan. Padahal, di Indonesia banyak daerah nelayan,'' kata Sofyan. Manajemen Air: Konflik Hulu-Hilir Menurut pengamatan Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Gadis Sri Haryani, Indonesia sebenarnya tidak ketinggalan dalam hal pengelolaan tata air. ''Masalah air selama ini sebenarnya terletak pada pengelolaan dan manajemen air,'' kata alumnus Institut National Polytechnique de Toulouse, Prancis, itu. Manajemen air selama ini masih amburadul. Padahal, jika ini dibiarkan, Gadis khawatir, dapat saja terjadi konflik yang meluas tentang air. ''Pada saat ini sudah terjadi potensi konflik antar-negara karena air. Itu terjadi karena pasokan air bersih suatu negara bergantung pada negara lain,'' kata Gadis. Ketergantungan itu, misalnya, terlihat di Singapura yang rutin mengimpor air bersih dari Malaysia dan Indonesia. Bayangkan saja, kalau terjadi konflik politik, masalah ini bisa merembet dengan ancaman penghentian suplai air bersih ke negara itu. ''Ini istilahnya konflik hulu-hilir. Seluruh dunia telah mengalaminya, termasuk di Indonesia,'' ujar Gadis. Untuk mengatasi hal ini, PBB sebenarnya sudah campur tangan dengan membentuk program bernama Potential Conflict to Cooperation Potential (PCCP) di bawah kendali UNESCO. PCCP berusaha menjalin kerja sama di antara negara-negara yang punya potensi konflik gara-gara air. ''Indonesia juga ikut dalam program ini,'' tutur Gadis. Perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat, menurut Sofyan, mutlak dibutuhkan untuk mengelola air, sang sumber kehidupan. ''Jangan cuma jargon. Harus action,'' kata Sofyan. Nur Hidayat, Mukhlison S. Widodo, Syamsul Hidayat, Rach Alida Bahaweres, dan Basfin Siregar. Post Date : 16 April 2008 |