Jakarta, Kompas - Operator air PT Aetra Air Jakarta menunggu keputusan PAM Jaya mengenai perbaikan perjanjian kerja sama yang disepakati untuk diperbaiki. Kesepakatan (memorandum of understanding) sudah disepakati pada awal April dan kini adendum-adendum yang ditawarkan Aetra kepada PAM Jaya sedang dipelajari.
”Sebenarnya itu bukan adendum karena pada dasarnya keseluruhan perjanjian kami perbaiki. Investor sudah menyetujui dan menyatakan komitmen untuk berpihak kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat Jakarta selaku pelanggan PAM,” papar Mohamad Selim, Presiden Direktur Aetra, di Jakarta, Selasa (21/6).
Perjanjian kerja sama (PKS) antara PAM Jaya dan operator air selama ini dianggap tidak seimbang dan justru berpotensi memberikan PAM Jaya utang dalam jumlah besar. Tahun 2010, jumlah total utang PAM Jaya kepada operator sebesar Rp 400 miliar. Untuk memperbaiki masalah tersebut, Aetra bersedia tidak meminta untuk menaikkan tarif dan utang PAM Jaya akan lunas pada 2016. Bahkan, tahun 2022 di akhir kerja sama, PAM Jaya akan mengalami surplus.
Untuk mencapai komitmen itu, Aetra akan melakukan sejumlah perbaikan dalam kinerjanya. ”Yang sudah pasti efisiensi akan kami lakukan. Ada banyak hal, mulai dari mengatasi kebocoran yang saat ini masih tergolong tinggi, efisiensi operasional, efisiensi internal, mengevaluasi keberadaan kantor, dan sebagainya,” tutur Selim.
Selim optimistis, apa yang dilakukan Aetra tidak akan mendatangkan kerugian walaupun inflasi dan ongkos produksi terus naik. ”Kami sudah perhitungkan risikonya dan dari hitungan kami ternyata masih akan untung walaupun tidak sebesar jika PKS yang lama tetap diikuti.”
Konsekuensi dari perbaikan PKS ini adalah, jika tidak efisien, operator tidak akan dibayar. Dengan komitmen itu, mau tidak mau, operator akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, sebagai kompensasi, Aetra minta kebebasan berinvestasi.
Selama ini Aetra tidak bisa melakukan inovasi karena selalu ada campur tangan PAM Jaya. Misalnya saja untuk urusan pegawai. Aetra menginginkan agar semua karyawan PAM Jaya yang ditempatkan di Aetra menjadi karyawan Aetra. Dengan demikian, Aetra lebih leluasa mengatur karyawan, termasuk memecat jika mereka malas bekerja.
Sementara itu, menurut Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, ketidakseimbangan perjanjian kerja sama antara Pam Jaya dan operator itu memang sudah terjadi sejak awal. Oleh karena itu, PAM Jaya dan operator harus duduk bersama untuk memperbaikinya.
Gubernur selaku pemilik PAM Jaya juga harus turun tangan menjadi mediator. ”Semua keputusan pasti ada risikonya. Mau diperbaiki atau diperpanjang. Jika memang sudah disepakati, ya, harus dijalani. Masing-masing pihak jangan mau enaknya saja,” kata Agus.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyambut baik kesediaan Aetra melakukan perbaikan. ”Pemerintah belum bisa menaikkan tarif karena layanan belum baik. Jika tarif naik, sementara pertumbuhan ekonomi di bawah inflasi, justifikasi apa yang akan dipakai,” ujar Fauzi.
Menurut Fauzi, kondisi saat ini memang masih belum menguntungkan. Pemutusan kerja sama akan mendatangkan konsekuensi berat. Pemprov DKI Jakarta harus membayar ganti untung kepada operator. Sementara jika mengikuti PKS yang lama, Pemprov DKI akan mengalami kerugian terus-menerus karena tarif lebih kecil dibandingkan dengan imbalan yang dibayarkan kepada operator.
”Jika operator mau bekerja sama, kami sangat berterima kasih sekali.” (ARN)
Post Date : 22 Juni 2011
|