[JAKARTA] Pertemuan Perubahan Iklim di Kopenhagen, yang memasuki hari kelima yang membahas persoalan Adaptasi Perubahan Iklim menghasilkan sebuah naskah perundingan tunggal, sehingga negosiasi Adaptasi berjalan dengan perhatian yang tidak terpecah.
Indonesia berpendapat adaptasi adalah hal yang kritis, karena kebutuhan perlindungan terhadap masyarakat dan tempat tinggalnya dari dampak negatif perubahan iklim merupakan hal yang mendesak, dan harus secepatnya dilakukan dengan antara lain mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim di berbagai lokasi yang rawan.
Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Amanda Katili Niode dalam siaran pers resmi Delegasi Indonesia (Delri) ke redaksi SP, Jumat (11/12), mengatakan, beberapa daerah di Indonesia telah merasakan dampak perubahan iklim yang ditunjukkan dengan perubahan pola curah hujan, iklim ekstrem, angin dengan kecepatan tinggi, badai tropis, El Nino, La Nina, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta tanah longsor.
Meskipun semua negara perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim global, katanya, penekanan khusus diperlukan untuk kebutuhan adaptasi di negara berkembang. Dengan adanya perubahan iklim, usaha-usaha negara berkembang untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) pada tahun 2015 akan sangat terhambat
"Pendanaan dan teknologi untuk adaptasi sangat diperlukan, demikian juga pengembangan kapasitas bagi negara berkembang untuk mengambil langkah-langkah adaptasi di tingkat lokal ataupun nasional. Semua ini konsisten dengan Bali Action Plan untuk meningkatkan kerja sama internasional guna mendukung aksi adaptasi di negara berkembang khususnya kajian kerentanan, penentuan prioritas dan manajemen risiko," ujarnya.
G-77 Desak AS
Sementara itu, Presiden kelompok negara berkembang G - 77 Lumumba Stanislaus Dia-Ping, Kamis (10/12) mendesak Presiden AS Obama melaksanakan isi Protokol Kyoto. Selain itu, dia juga meminta AS segera mengeluarkan dana senilai US $ 200 miliar untuk membantu negara berkembang dan miskin mengatasi masalah perubahan iklim.
"AS bisa mendanai miliaran dolar untuk sistem pertahanannya. Sekarang, apakah bisa menyisakan 200 miliar untuk menyelamatkan dunia? Itulah tantangan bagi Obama," papar Dia-Ping.
Seorang delegasi G-77 yang tidak ingin dikutip namanya menekankan agar Obama bekerja keras bersama negara berkembang untuk mengurangi emisi gasnya, seperti isi Protokol Kyoto. Pasalnya, AS termasuk negara penyumbang emisi terbesar.
"Ini akan sangat memalukan bagi AS jika tidak turut bagian dalam proses pengurangan emisi gas karbon, karena negara itu termasuk penyumbang emisi terbesar," paparnya.
Koordinator G -77 Bernarditas Muller mengatakan, jika bantuan dari negara industri maju itu keluar, PBB harus mengelolanya. "Pengelolaan dana oleh PBB ini harus dilakukan agar bantuan bisa tepat sasaran dan tepat guna, agar upaya mengurangi emisi gas bisa tercapai," katanya.
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, Kamis (10/12) mengatakan, perubahan iklim sudah memasuki isu keamanan bukan hanya lingkungan. [un.org/WID/E-7]
Post Date : 11 Desember 2009
|