Jakarta, Kompas - Dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan berkurangnya sumber air, membuat petani, nelayan, dan warga yang tinggal di kawasan hutan mengatasi dampak perubahan iklim dengan berbagai cara. Berbagai adaptasi masyarakat itu belum didukung oleh pemerintah dan belum sepenuhnya mereka mampu mengatasi dampak perubahan iklim.
Kepala Pemerintahan Dewan Adat Papua Sayid Fadhal Alhamid menyatakan, masyarakat adat Papua di Kabupaten Jayapura, Papua, mengalami sejumlah dampak perubahan iklim. ”Nelayan ikan budidaya di Genyem, misalnya, kolamnya jadi mengering karena tanah merekah akibat kemarau panjang. Tahun ini kakao tidak berbuah,” kata Alhamid di Jakarta, Kamis (2/12).
Di Demta, tangkapan ikan nelayan pun menurun. Empat kapal bantuan pemerintah daerah tidak bisa dioperasikan lagi karena biaya operasionalnya lebih besar daripada hasil tangkapan ikan. Nelayan Danau Sentani mengeluhkan pertumbuhan ikan yang kian lambat, diduga karena kenaikan suhu air Danau Sentani.
”Yang bisa beradaptasi dengan dampak perubahan iklim baru nelayan perikanan budidaya Genyem. Mereka membuat kolam ikan beralas terpal plastik. Itu mencegah air kolam terbuang melalui tanah yang merekah di mana-mana,” kata Alhamid.
Perubahan iklim
Supervisor Yayasan Pahadang Manjoru di Sumba, Nusa Tenggara Timur, John Thomas menyatakan, dampak perubahan iklim yang paling dirasakan masyarakat Sumba adalah kekacauan musim hujan.
”Kemarau di Sumba sejak 2009 berlangsung berkepanjangan. Benih tanaman habis karena begitu dipakai beberapa kali tanam selalu gagal karena terjadi kekeringan yang ekstrem. Petani terpaksa menanam di bantaran sungai,” kata John.
Tak bisa disadap
Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, M Yusuf juga mengeluhkan pola cuaca yang semakin tidak jelas.
”Saat ini karet kami tidak bisa disadap lagi karena terus-menerus turun hujan. Produksi beras Kabupaten Pelalawan pun menurun. Sebagian besar lahan di Riau adalah gambut yang dikeringkan dengan pembangunan kanal. Kami kini menutup 12 dari 29 kanal pengering lahan gambut di Pelalawan dan menjadikannya kolam ikan untuk menggantikan pendapatan kami yang hilang akibat cuaca ekstrem,” kata Yusuf.
Ketua Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Hedar Laudjeng menyatakan, fakta itu menunjukkan, pemerintah harus melindungi dan mendukung adaptasi yang telah dilakukan masyarakat.
”Pemerintah harus mengamandemen kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Dana mitigasi yang melimpah, misalnya dari skema pendanaan mitigasi REDD+, harus digunakan untuk membantu upaya adaptasi demi melindungi masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim,” kata Hedar. (ROW)
Post Date : 03 Desember 2010
|