Pesantren itu tampak biasa. Terdiri atas gedung sekolah dan asrama. Pekarangan di sekitarnya ditanami sayuran. Yang tak biasa, ada tempat khusus untuk pemilahan sampah organik dan nonorganik.
Sampah organik, semisal dedaunan, dipisah, dibiarkan dua hari, lalu diberi bibit bakteri kompos. Setelah itu, disaring dan dimasukkan ke tabung komposter, lalu didiamkan selama tiga hari. Kompos itu siap digunakan sebagai pupuk.
"Dalam satu hari, kami menampung satu ton sampah organik maupun nonorganik," kata Habib A. Syakur, pengasuh Pesantren Al-Imdad, Dusun Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kemarin.
Pesantren itu memiliki 40 santri yang menetap di asrama dan sekitar 300 santri kalong, yang tinggal di luar asrama. Meski mereka belajar ilmu umum dan agama, kepedulian terhadap lingkungan lebih ditekankan. Mereka juga mendapat giliran mengolah sampah. Setiap hari, ada lima hingga 10 santri yang bertugas. Dan setiap minggu tiap santri menerima honor Rp 100 ribu.
Anehnya, pesantren tersebut tidak menjual kompos itu karena digunakan sendiri untuk usaha pembibitan aneka pohon, seperti jati kebon, sengon, mangga, rambutan, klengkeng, pepaya, dan bibit pohon lainnya. Dari hasil penjualan bibit itu, pesantren tersebut membiayai kehidupan para santrinya.
Sedangkan sampah plastiknya dikumpulkan dan dijual kepada pengepul sampah dari Jawa Barat. "Memang ada bantuan ke pesantren, dari para donatur dan terkadang dari pemerintah," kata Taufiq Bukhori, Ketua Yayasan Pesantren Al-Imdad.
Santri Aris Fathurrahman, 21 tahun, yang ditemui saat sedang memilah sampah, mengatakan sejak kecil menjadi santri di Al-Imdad. Dia mengakui pengasuh pondok keras dalam mendidik santrinya, khususnya soal kepedulian lingkungan. Bahkan kiai mengharamkan membuang sampah sembarangan, terutama di sungai. "Peduli lingkungan itu kan juga menjaga kebersihan, padahal kebersihan adalah bagian dari iman," kata dia.
Adapun Habib, lulusan Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dengan tegas mengakui mengharamkan pembuangan sampah ke sungai. Dia mengatakan sepuluh tahun lalu sungai di kampungnya sangat jernih, tapi kini menjadi kotor. "Kalau tidak kami jaga dari sekarang, apa jadinya? Sungai kotor dan rusak. Merusak itu hukumnya haram," ucapnya. MUH SYAIFULLAH
Post Date : 07 Mei 2011
|