|
Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan insentif bagi warga, kelompok masyarakat, dan badan usaha yang mengelola sampah dengan baik. Insentif tersebut diberikan dalam bentuk fiskal ataupun nonfiskal, yang bertujuan melibatkan partisipasi warga seluas-luasnya.
”Kami tidak hanya bicara tentang kewajiban dan sanksi hukum, tetapi juga mengatur hak warga ataupun badan usaha yang bisa mengelola sampah di lingkungannya. Insentif ini diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah yang baru disahkan,” kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Unu Nurdin, Senin (27/5), di Jakarta.
Menurut Unu, insentif fiskal diberikan dalam bentuk uang, dana bergulir, keringanan pajak, atau pengurangan retribusi. Adapun insentif nonfiskal berupa pemberian kemudahan perizinan atau dalam bentuk penghargaan. ”Penerima insentif diusulkan kepala dinas kepada gubernur berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan tim yang dibentuk gubernur,” kata Unu. Unu berharap insentif akan meningkatkan partisipasi publik dalam mengelola sampah, sehingga bisa meringankan beban Pemprov DKI. Apalagi, Pemprov DKI punya keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan. Oleh karena itu tak mungkin masalah sampah teratasi hanya dengan mengandalkan pemerintah. Menunjang partisipasi tersebut, Pemprov DKI mewajibkan lurah dan camat memfasilitasi menyediakan tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Saat ini, di Jakarta, sangat kekurangan TPS. Jumlah TPS yang ada tidak sebanding dengan produksi sampah di tiap kecamatan yang mencapai 150 ton per hari. ”Sementara rata-rata TPS yang ada hanya dua. Bagaimana di tempat yang padat penduduk? Kondisi ini tidak berimbang,” katanya. Berdasarkan data Dinas Kebersihan DKI, jumlah produksi sampah di seluruh DKI mencapai 6.600 ton per hari. Sementara itu, jumlah petugas yang menangani sampah di seluruh wilayah sebanyak 1.130 orang. Adapun peralatan pengangkut dan pengolah sampah yang ada tidak semuanya dapat dioperasikan. Pekan lalu, Perda tentang Pengelolaan Sampah disahkan di DPRD DKI Jakarta. Selain mengatur soal insentif, perda tersebut juga mengatur sanksi bagi warga yang membuang sampah dari kendaraan ataupun badan usaha yang tidak menyediakan tempat pengolahan sampah. Sanksi mulai dari administratif sampai denda mulai Rp 500.000 sampai Rp 50 juta. Pengamat persampahan Sri Bebassari mengatakan, perda yang dibuat Pemprov DKI ini merupakan awal yang baik dalam pengelolaan sampah. Pasalnya, masyarakat dilibatkan untuk mengurangi limbah sampah. Perda lama yakni Perda Nomor 5 Tahun 1988, hanya mengakomodasi besaran iuran sampah dan denda bagi pelanggar perda. Dia menambahkan, perda baru ini harus diikuti dengan proses sosialisasi yang baik kepada masyarakat agar isi perda diketahui betul oleh seluruh lapisan. Dengan begitu, keterlibatan masyarakat juga bisa dimaksimalkan untuk ikut mengolah sampah. Sri berpendapat, sebagian masyarakat Jakarta bahkan tidak mengetahui isi Perda No 5/1988. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan sosialisasi. Untuk penegakan hukum, Sri berharap Pemprov DKI melibatkan polisi dan ahli hukum sejak awal pemberlakuan perda. Dengan demikian, perda ini tidak hanya berhenti sebagai peraturan saja. (ART/NDY) Post Date : 28 Mei 2013 |