|
Jakarta, Kompas - Penyediaan air minum belum dipandang sebagai investasi menciptakan sumber daya manusia berkualitas. Akses masyarakat terhadap air minum pun tidak menunjukkan perubahan berarti, bahkan cenderung memburuk. ”Permintaan (air) terus meningkat, namun penyediaannya justru terus mengalami penurunan,” kata hidrolog Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang juga Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Sabtu (23/3). Kebutuhan air minum mengikuti pertambahan penduduk. Kondisi di kota lebih buruk karena 53 persen penduduk Indonesia pada 2013 tinggal di kota dengan sumber air minum makin minim dan kualitas yang makin buruk. Badan Pusat Statistik menyebut, antara 1993-2011, jumlah rumah tangga dengan akses air minum layak tertinggi terjadi tahun 2004 sebesar 48,81 persen. Setelah itu, terus turun hingga hanya 42,76 persen rumah tangga yang mampu mengakses air minum layak pada 2011. Padahal, sesuai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2015, Indonesia harus memiliki 68,87 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum layak. Warga kota mengalami penurunan akses tertinggi, dari 49,82 persen rumah tangga pada 2009 menjadi 40,52 persen rumah tangga. Di desa, turun dari 45,72 persen rumah tangga menjadi 44,96 persen rumah tangga pada periode yang sama. Sutopo mengatakan, mendongkrak jumlah rumah tangga yang mampu mengakses air minum layak terbilang rumit. Selain lemahnya komitmen pemerintah, besarnya jumlah penduduk miskin juga menghambat. Kinerja perusahaan daerah air minum (PDAM) yang berkewajiban menyediakan air minum perpipaan sangat rendah. Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebut hanya 19,5 persen rumah tangga yang terlayani air ledeng PDAM. PDAM yang ada pun banyak terlilit persoalan keuangan. Kementerian Pekerjaan Umum menyebut hanya 41 persen dari 335 PDAM dalam kondisi sehat. Saat akses air minum layak belum terpenuhi, lanjut Sutopo, ketersediaan dan kualitas air baku terus turun. Ketersediaan air baku di Jawa dan Nusa Tenggara saat kemarau jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan. Kualitas air baku terus tercemar limbah industri dan rumah tangga. Zat gizi Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi yang juga dokter spesialis gizi klinik Tirta Prawita Sari mengungkapkan, air merupakan zat gizi yang berperan besar pada tubuh. ”Mikroba dalam air memang akan mati jika air dimasak hingga mendidih. Namun, mineral berbahaya dengan kadar tinggi tetap akan ada,” katanya. Buruknya kualitas air meningkatkan kasus penyakit pencernaan. Diare masih menjadi salah satu penyakit paling sering diderita masyarakat. Bahkan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007, diare merupakan penyebab utama kematian bayi dan anak balita. Seringnya anak-anak diare membuat energi dan nutrisi tubuhnya digunakan untuk mempertahankan daya tahan tubuh melawan kuman. Akibatnya, anak jadi kurang gizi. Kurang gizi juga membuat daya pikir anak rendah. ”Ketersediaan air bersih erat dengan tingkat inteligensia anak,” ujarnya. (MZW) Post Date : 25 Maret 2013 |