|
PURWOKERTO- Jika dibandingkan dengan program penanganan air bersih, penanganan masalah sanitasi di Kabupaten Banyumas dinilai belum memuaskan. Problemnya bukan semata karena tak ada dukungan anggaran dan regulasi dari pemerintah, tapi gerakan kesadaran warga akan pentingnya penyehatan lingkungan belum tumbuh pesat. Sementara tantangan dari dampak pencemaran dan perubahan perilaku manusia semakin hari terus mengkhawatirkan. Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DKCTR), Sugiri Widodo, dalam diskusi informal dengan Suara Merdeka juga mengamini kondisi tersebut. ’’Sanitasi memang masih menjadi tantangan berat di sini, jika dibandingkan dengan program air bersih. Karena ini menyangkut bagaimana mengubah pola pikir dan pola perilaku warga,’’ katanya, baru-baru ini. Data di DKKCTR dan Dinas Kesehatan mengungkap, sejauh ini cakupan layanan sanitasi di Banyumas baru mencapai 50,37% lebih. Hasil studi EHRA (Enfironmental Healt Risk Asesment) tahun 2011 oleh Pokja AMPL dengan 4.400 responden, juga menunjukkan angka yang memprihatinkan. Berdasar survei itu, anggota keluarga yang sudah dewasa saat buang air besar (BAB) 55,9% ke jamban pribadi. Anggota keluarga yang BAB ke sungai sekitar 24,70% dan ke parit 1,8%, kebun 1,2%, lubang galian 1,8%, WC tetangga 3,7%, WC Helikopter 6,7% dan WC umum sebesar 4,2%. Meski pun ada 55,9% penduduk yang buang air besar ke jamban pribadi, namun fakta menemukan, pembuangan dari jamban tidak semuanya dialirkan ke septictank. Jadi masalah itu berpotensi mencemari lingkungan. Sering Diabaikan Menurut Sugiri, menangani masalah sanitasi, termasuk limbah dan sampah, masih ada pemahaman itu merupakan sesuatu yang ’’menjijikkan’’ sehingga sering diabaikan. Padahal produksi limbah rumah tangga atau domestik penyumbang terbesar timbulnya penyakit atau penurunan kesehatan lingkungan. ’’Kalau program dari pemerintah banyak, khususnya membantu dalam penyediaan sarana dan prasarana. Silakan diajukan saja, termasuk untuk tahun 2014. Terberat adalah pengelolaan dengan melibatkan partisipasi warga atau lingkungan pasca pembangunan fisik,’’kata Sugiri. Dia mencontohkan, untuk program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM) saja, setiap lokasi atau kelompok keswadayaan masyarakat (KSM), bisa dikucurkan angaran antara Rp 500 juta sampai Rp 600 juta, dan tiap tahun selalu ada dari pusat didampingi APBD. ’’Tapi ini lebih banyak digunakan untuk pembuatan IPALdan perpipaan. Untuk pengelolaan harus dilakukan swadaya masyarakat. Ini yang butuh pendampingan lanjutan,’’terangnya. Jika dibanding program air bersih, prestasinya jauh berbeda. Satu contoh program Pamsimas (Penyediaan Sarana Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Sejak pertama diluncurkan tahun 2000 hingga 2012, ada 68 kelompok masyarakat yang sudah berjalan. Dari jumlah itu hanya dua yang bermasalah, yakni kelompok di Desa Karangtengah, Kecamatan Kemrajen. Kasusnya bor air mati. Kedua, Desa Karangsari, Kecamatan Kembaran. Kasusnya soal kelembagaan, dimana pengurus tidak jalan. Sebagian besar berjalan baik, bahkan ada yang sudah menghasilkan dan memiliki simpanan sampai Rp 200 juta. Mereka mampu mengelola model penjualan air seperti model PDAM. Dari hasil evaluasi, lanjut Sugiri, Pamsimas Banyumas dinilai berhasil. Ini tidak lepas dukungan dan kerja sama dari Badan Pengelola Pansimas Banyu Urip tingkat kabupaten. Bahkan sejumlah lembaga swadaya asing tertarik untuk mendampingi dan membantu pendanaan. Wahyu Winarso, salah satu fasilitator program sanitasi lingkungan di Banyumas mengungkapkan, dari kasus yang sering muncul pasca pembuatan septik komunal adalah partisipasi dan kesadaran kolektif pengelolaan masyarakat yang masih rendah.(G22,K17-17) Post Date : 17 Juli 2013 |