|
JAKARTA, KOMPAS — Strategi konservasi dengan menghentikan penyedotan harus segera dimulai untuk mengamankan air tanah DKI Jakarta. Pemerintah Kota Jakarta Utara berinisiatif memulainya tahun 2015. Namun, rencana itu butuh dukungan pemerintah provinsi dan wilayah lain, termasuk warga, instansi, dan operator air bersih. Rencana penghentian izin penyedotan air tanah disampaikan Wali Kota Jakarta Utara Heru Budi Hartono, pekan lalu. Penyedotan air tanah dinilai semakin tidak terkendali, sementara penerimaan pajak air tanah dinilai tidak signifikan dibandingkan dampak buruknya. Ahli hidrologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, Selasa (25/3), menyebutkan, strategi konservasi air tanah harus dimulai dari Jakarta Utara yang memiliki tingkat kerawanan air tanah tinggi. Pengambilan air tanah harus dihentikan secara bertahap ke arah selatan wilayah DKI Jakarta. Pengambilan air tanah di DKI Jakarta dinilai berlebihan. Sesuai data Indonesia Water Institute, jumlah sumur bor dan pantek bertambah dari 3.788 titik pada 2007 menjadi 4.101 titik pada 2009. Jumlah itu tersebar di lima wilayah DKI Jakarta. Menurut Heru, pengambilan air tanah yang masif mempercepat penurunan muka tanah yang memicu genangan. ”Penghentian pengambilan harus segera dimulai,” ujarnya. Provinsi Selain payung hukum, rencana itu juga membutuhkan kesungguhan menyediakan air bersih dengan pemipaan. Menurut Heru, segenap potensi harus didorong untuk mewujudkan target 100 persen suplai air bersih melalui pemipaan. Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor menyatakan dukungannya terhadap rencana penghentian penyedotan air tanah. ”Namun, itu tidak bisa dari tingkat kota. Peraturan tersebut seharusnya dari tingkat provinsi. Kalau memang ada, kami akan sangat bersemangat untuk mendukungnya dan mengawal realisasi di lapangan,” katanya. Selama ini, praktik penyedotan air tanah di Jakarta Selatan masih diperbolehkan, tetapi dengan sederet persyaratan dan tentunya harus membayar pajak sesuai ketentuan. Kantor Lingkungan Hidup setempat mendapat tugas khusus dari wali kota untuk melakukan inspeksi sewaktu-waktu serta meneliti jika saja ada warga yang nakal. ”Pemberian sanksi tegas. Itu salah satu upaya agar mereka yang menyedot air tanah tidak sesukanya,” ujar Syamsudin. Pengguna air tanah di Jakarta Selatan sebagian besar adalah pengelola gedung-gedung tinggi, baik perkantoran maupun hunian vertikal. Yang diperkirakan bakal semakin memicu masalah adalah di kota yang menjadi kawasan resapan air untuk seluruh Jakarta ini, pembangunan gedung tinggi kian masif. Di kanan-kiri Jalan TB Simatupang saja, proyek gedung tinggi terus berlangsung sepanjang 3-5 tahun terakhir. Pembangunan gedung tinggi bahkan telah berlangsung di kawasan Jagakarsa. Padahal, Jagakarsa merupakan salah satu zona hijau di Jakarta Selatan yang sebagian besar kawasannya diproyeksikan sebagai permukiman dan taman/hutan kota. Pemilik lahan di kawasan ini rata-rata hanya boleh membangun 30 persen dari total luas tanah. Masih menunggu Pengambilalihan saham PT Palyja menghadapi jalan buntu karena masih ada gugatan warga. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, pihaknya menyerahkan penyelesaian persoalan ini ke PT Jakarta Propertindo dan PT Pembangunan Jaya. ”Sebenarnya kami sudah menyiapkan dana sekitar Rp 1 triliun untuk membeli seluruh saham Palyja. Namun, karena ada gugatan ini, kami nggak berani. Kalau gugatan belum dicabut, kami nggak berani beli,” ujar Basuki. Dia mengatakan, pengambilalihan Palyja bisa dilakukan dengan membayar sejumlah uang saat ini juga untuk mendapatkan saham perusahaan itu. ”Sekarang tergantung mana yang mau dipilih. Silakan para pihak yang menuntut untuk berpikir, mau untuk rakyat atau bagaimana,” katanya. (NEL/ART/MKN) Post Date : 26 Maret 2014 |