Di saat Jakarta kewalahan mendapatkan kiriman air bah dari
Bogor, Lampung Timur justru mengharapkan hibah air. Penduduk Desa Gunung Mas,
Kecamatan Marga Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung selama
puluhan tahun selalu menadah hujan.
Mereka
membuat semacam kolam berkapasitas tujuh meter kubik khusus menampung air
hujan. Air yang tertampung itulah yang kemudian dipakai untuk kebutuhan
sehari-hari, terutama untuk mandi dan mencuci pakaian. Untuk keperluan minum,
perjuangan mereka lebih berat lagi. Minimal harus berjalan tujuh kilometer ke
sumber mata air membawa dirigen dan memanggulnya kembali ke rumah. Tak sampai
di situ, mereka juga harus mengantri berjam-jam untuk bisa mendapat giliran
menampung air di sana.
"Kalau
yang malas ke mata air, biasanya air hujan mereka minum juga," kenang
Kepala Desa Gunung Mas, Sutiyarto, kepada Koran Jakarta saat berkunjung ke
Lampung Timur, Kamis (23/1).
Masyarakat
di sini sempat patah arang untuk bisa mendapatkan air bersih. Daripada
membutuhkan dana besar, sekitar 75 juta rupiah untuk menggali sumur, warga
Gunung Mas memilih membeli air bersih eceran yang dijual secara berkala
menggunakan truk air. Apalagi mereka sudah amat kelelahan dengan aktivitas
bertaninya.
Setiarto
bercerita harga satu rit (setara dengan 1 meter kubik) seharga 120 ribu rupiah.
Dalam sebulan rata-rata satu keluarga membutuhkan tiga rit atau mengeluarkan
uang sebanyak 360 ribu rupiah untuk menikmati air. Masyarakat desa sempat
senang karena perusahaan daerah air minum membuat instalasi air ke sana. Namun,
itu tak berlangsung lama karena banyak masyarakat yang mencuri air dengan
melubangi pipa. Akhirnya, beban membengkak dan masyarakat yang tak bisa
membayar. "PDAM kemudian memutuskan sepihak instalasi airnya," kata
dia.
Awal
2000 masyarakat Gunung Mas mulai bisa menikmati air tanpa perlu mengeluarkan
tenaga dan biaya besar. Pemerintah membuatkan dua buah sumur bor di delapan
dusun. Tapi, masalah masih tetap muncul. Ribuan KK yang ada di desa itu tetap
berebutan mengambil air bersih di sumur bor. Kapasitas sumur yang kecil membuat
antrian semakin panjang.
Sumur
Bor
Dari
kondisi demikian, perusahaan penyedia produk pertanian hibrida, Monsanto
Indonesia, kemudian memberikan bantuan melalui Monsanto Fund. Mereka
menganggarkan 1,7 miliar rupiah untuk bisa membangun dua sumur bor dengan
kedalaman hingga 104 meter.
Bantuan
ini sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan karena di desa itu banyak petani
yang menggunakan benih dari Monsanto. Bantuan serupa sudah dilakukan di Tuban
dan Malang serta akan dilanjutkan ke Mojokerto.
"Ini
sebagai bentuk kerja sama erat kami dengan masyarakat. Kami ingin dekat dengan
konsumen," kata CEO Monsanto Indonesia, Mauricio Amore, saat meresmikan
penggunaan sumur bor di sana.
Sudah
lima bulan masyarakat di dua dusun di desa ini menikmati sumur bor yang
dibangun Mosanto. Kelebihan dari sumur bor ini adalah air bisa dinikmati
masyarakat langsung di rumahnya. Tak sekadar membangun, Monsanto juga
memberikan edukasi ke masyarakat bagaimana mengelola air, mengedukasi guru
pendidikan anak usia dini (PAUD), dan memberikan fasilitas bermain bagi
anak-anak PAUD.
Saat
ini dua sumur bor yang dibangun selama setahun itu sudah bisa dinikmati sekitar
200 KK di dua dusun. Mereka bisa langsung menikmati air di rumah sendiri dengan
biaya hanya 5 ribu rupiah untuk 1 meter kubik air. "Kami sengaja memungut
biaya untuk operasional dan perawatan sumur bor ini," kata pengelola sumur
bor sekaligus Kepala Dusun Sido Mulyo, Ngadino. Rata-rata setiap rumah
menghabiskan 4 meter kubik air perbulan atau mengeluarkan hanya 20 ribu rupiah.
Saat ini, air sudah mengalir jauh hingga ke kamar mandi rumah.
Post Date : 24 Januari 2014
|