|
BANDUNG, KOMPAS —Meski pencemaran air Sungai Citarum sudah masuk kategori parah, belum ada langkah nyata penanganan limbah kimia beracun dan berbahaya pada sungai tersebut. Padahal, selain untuk mengairi areal pertanian, air Citarum juga digunakan setiap hari untuk minum 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selain limbah cair kimia bahan beracun dan berbahaya (B3), Citarum juga menampung limbah domestik (40 persen), yakni limbah rumah tangga dari jutaan penduduk di tujuh kabupaten/kota di Jabar yang dilintasi Sungai Citarum. Limbah pabrik dan rumah tangga itu bercampur dengan 10 ton sampah per hari. ”Yang terjadi malah pembiaran, terutama pembuangan limbah berbahaya dari pabrik ke perairan umum,” ujar Deni Riswandani dari Komunitas Elemen Lingkungan Majalaya, Kabupaten Bandung, Selasa (8/10). Deni menduga, salah satu penyebab pencemaran adalah limbah cair B3 yang dibuang pabrik tekstil di Majalaya. Dari 217 pabrik tekstil, sekitar 60 persen langsung membuang limbah ke Citarum. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa, akhir minggu lalu, mengunjungi Citarum di Desa Tanggulun, Majalaya. Berdasarkan laporan uji petik BPK pada 2012 di tujuh wilayah yang dilintasi Sungai Citarum, katanya, ditemukan 8 perusahaan di Kabupaten Bandung dan Purwakarta membuang limbah cair tanpa izin ke Citarum. Selain itu ada 23 perusahaan di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat membuang limbah cair melebihi baku mutu. Menurut catatan Greenpeace Indonesia, sekitar 2.800 ton bahan kimia berbahaya beracun dibuang ke Citarum setiap tahun. Di beberapa tempat, tingkat pencemaran air itu sangat berbahaya karena Ph-nya di angka 14, padahal yang diperbolehkan di perairan umum Ph-nya 6. Banyak pula bahan kimia yang tak bisa terurai sehingga bertahan di alam dan masuk ke dalam rantai makanan manusia. Contohnya bahan kimia berbahaya itu dimakan ikan-ikan pada perikanan keramba jaring apung, terutama di Waduk Saguling. Selain Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Jatiluhur diairi Sungai Citarum. Ikan-ikan dari Saguling dan Cirata dipasarkan ke Jawa Barat dan DKI Jakarta. ”Jika makan ikan dari waduk ini jangan makan kepalanya, khawatir mengandung racun,” ujar Asisten Analis Hidrologi dan Sedimentasi Badan Pengelola Waduk Cirata, Tuarso. Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Anang Sudarna mengatakan, berbagai upaya dilakukan BPLHD, termasuk mengajukan pabrik pencemar ke pengadilan tidak membuahkan hasil maksimal. ”Kami tengah menyusun rencana aksi gerakan Citarum bersih yang akan diluncurkan akhir November ini. Rencana aksi kali ini bersifat multipihak, sebab kami sadar tidak akan mampu mengendalikan pencemaran sendirian,” ujarnya. Syaifuddin Akbar dari bagian tindak pidana Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa penanganan pencemaran sungai melalui proses hukum tak efektif. Dari 77 kasus pidana yang ke pengadilan, 52 persen hukumannya percobaan 10 bulan, 13 persen dihukum ringan, dan sisanya bebas. (DMU/CHE) Post Date : 09 Oktober 2013 |