|
Saat temannya sibuk menanam bibit pohon, Bang Sayuti diam-diam mengeluarkan bungkusan plastik hitam berisi sampah dari sarung yang diselempangkan di pundaknya. Plung! Sampah pun masuk ke aliran Sungai Ciliwung. Kelakuan buruk Sayuti ternyata dilakukan juga oleh tetangganya. Sembari berdagang keliling kampung di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, si Mpok ini main lempar saja sampah dari rumahnya ke bantaran Ciliwung. Ketika warga setempat menegur kelakuannya, si Mpok malah marah-marah. Dasar nasib lagi apes, keributan itu terdengar petugas pemantau. Petugas pemantau sigap melaporkan kasus Mpok ke kelurahan setempat. Langsung saja, aparat lurah dan petugas mendatangi rumah Mpok. ”Mpok emang punya duit Rp 100.000 untuk bayar denda nyampah di kali,” kata salah satu petugas. Petugas menjelaskan, dalam waktu dekat, Jakarta akan segera memiliki peraturan daerah baru yang mengatur soal sampah. Pelanggar aturan, termasuk orang yang membuang sampah sembarangan di sungai, terancam hukuman 10 hari dalam kurungan atau denda Rp 100.000 sampai Rp 20 juta. Mpok pun luruh ketakutan, dan berjanji tak lagi mengulang perbuatannya. Dan, penonton pun bertepuk tangan riuh. Memang, kisah Sayuti dan si Mpok hanya rekaan yang dihadirkan dalam pertunjukan lenong Betawi pada Perayaan Hari Air Sedunia 2013: Gotong Royong Peduli Air di Kantor Gerakan Bersih Ciliwung, Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat, Jumat (22/3). Namun, pesan kisah ini mampu menohok kesadaran semua orang. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Sarwo Handayani, yang hadir dalam diskusi, mengakui, pelestarian sungai tidak bisa jika dilakukan satu arah, oleh pemerintah saja, atau dari masyarakat saja. Penegakan hukum dan sanksi sosial yang didukung penuh oleh masyarakat tentu akan makin menjamin keberhasilan penyelamatan sungai. ”Kebijakan penyelamatan Ciliwung dan sungai lain di Jakarta sekarang berbasis masyarakat. Masyarakat adalah motor penggeraknya. Pemerintah mendukung dengan kebijakan, program, dan dana,” katanya. Menjadikan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar bantaran Ciliwung, sebagai penggerak pelestarian sudah dilakukan oleh banyak komunitas. Komunitas Masyarakat Peduli Ciliwung (Mat Peci), misalnya, fokus mengajak masyarakat agar tidak membuang sampah di sungai, pemisahan sampah, serta pengelolaan sampah organik dan penggunaan ulang sampah anorganik. ”Sasaran kami anak-anak karena mereka lebih mudah dikasih tahu dan diberi pemahaman,” kata Usman dari Mat Peci. Menurut Usman, program pemerintah yang akan menormalisasi Ciliwung amat bagus. ”Namun, harus diimbangi juga dengan normalisasi manusianya, yaitu membuat orang berlaku normal membuang sampah dan limbah di tempatnya,” tambahnya. Direktur Unesco untuk Asia-Pasifik Hubert Gijzen, dalam acara yang sama, menegaskan bahwa air adalah kehidupan itu sendiri. ”Kini, air justru jadi sumber petaka, terkadang banjir, terkadang kering. Untuk itu, harus diupayakan agar ada keseimbangan lingkungan sehingga air tak lagi jadi momok. Itu adalah tanggung jawab semua pihak,” katanya. (NELI TRIANA/*) Post Date : 25 Maret 2013 |