|
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 170 desa di 17 kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Timur saat ini mengalami krisis air bersih amat parah. Untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasak, warga terpaksa harus mendatangi sumber air berjarak hingga lebih dari 5 kilometer. Ada pula sebagian warga yang terpaksa merogoh kocek untuk membeli air dari jasa mobil tangki. Sementara debit sejumlah sumber air terus merosot hingga mengering. Di Desa Nualain, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, misalnya, masyarakat harus berjalan kaki hingga sejauh lebih kurang 5 kilometer untuk mengambil air di kedalaman Sungai Berdao atau Sungai Melus. ”Tidak sedikit warga memakai jasa kuda untuk memikul air dari sungai itu karena harus melalui jalan menanjak dan berliku. Perjalanan pergi-pulang membutuhkan waktu 3-4 jam,” tutur Yoseph Mau, warga kampung tua Nualain, Senin petang. Nualain berlokasi sekitar 90 kilometer arah selatan Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Keluhan sama disampaikan warga Desa Teka Iku, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka. ”Kebutuhan air minum warga selama puncak kemarau seperti sekarang ini hampir semuanya tergantung dari mobil tangki. Masyarakat harus membeli Rp 200.000-Rp 250.000 per tangki (5.000 liter),” tutur Hilarius, warga Teka Iku. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT, Tini Thadeus, di Kupang, Senin (22/9), menyebutkan, ”Krisis air bersih sebenarnya melanda hampir merata di NTT. Namun, ada lima kabupaten/kota, yakni Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timir, Ngada, dan Kota Kupang, yang krisis air bersihnya masih kategori sedang. Adapun 17 kabupaten lain dengan kesulitan air bersih kategori parah.” Menurut Tini Thadeus, pihaknya sudah menyampaikan usulan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Jakarta guna mengalokasikan bantuan darurat untuk mengatasi kesulitan air bersih bagi warga di pedesaan NTT. Bantuan yang dibutuhkan berupa dukungan dana untuk pendistribusian air bersih ke pedesaan. ”Kami sedang menunggu respons Jakarta untuk penanggulangan darurat itu,” tuturnya. Antre air Sebagian warga di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pun terpaksa mencari tambahan air dari berbagai sumber air. Tidak hanya mencari di sekitar tempat tinggal, warga harus mencari air hingga ke desa tetangga dan kecamatan lain. Sukir (37), warga Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, mengatakan, karena air dari sumber air di dusunnya sudah mengalir sangat kecil, ia kerap mencari air hingga ke Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari rumahnya. Di sumber air itu, ia pun harus antre bersama banyak warga lain. ”Biasanya saya baru mendapatkan air setelah antre sekitar tiga jam hingga empat jam,” ujarnya. Biasanya Sukir baru antre air pada malam hari. Lamanya waktu antre membuat Sukir sering baru mendapatkan air pukul 22.00 hingga pukul 23.00. Mencari air hingga ke Kecamatan Kaloran dilakukannya setiap hari. Sukir selalu membawa tiga jeriken air dengan kapasitas per jeriken 25 liter. Hal serupa dilakukan Mukarim (45), warga Desa Tlogopucang. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, setiap pagi dia bersama keluarganya harus mencari air ke sumber air di Desa Rawaseneng, Kecamatan Kandangan, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya. Di Kabupaten Klaten, Jateng, menyusul penetapan status darurat kekeringan di daerah itu, BPBD setempat berupaya mengoptimalkan pemanfaatan sumber air bersih di lereng Gunung Merapi untuk disalurkan kepada warga di wilayah yang mengalami kekeringan. Namun, pemanfaatan sumber air terkendala minimnya infrastruktur jaringan pipa dan kendala alam pasca letusan Merapi 2010. Untuk jangka pendek membantu warga di lereng Gunung Merapi, Kepala BPBD Klaten, Sri Winoto, menyatakan telah menyiapkan dua truk tangki yang ditempatkan di Kecamatan Kemalang. Dua truk itu dioperasikan selama 24 jam guna mempercepat penyaluran bantuan air bersih kepada warga. Menurut Winoto, upaya memanfaatkan sumber air bersih di lereng Merapi sedang diupayakan. BPBD Klaten bersama masyarakat Desa Sidorejo, Panggang, Balerante, Kecamatan Kemalang serta warga Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, sejak pekan lalu mulai melakukan penggalian untuk memperbaiki jaringan pipa sumber air Bebeng di Glagaharjo. Jaringan pipa tersebut rusak akibat tertimbun material letusan Merapi 2010. Penggalian dilakukan dengan menggunakan alat berat. Dana swadaya Menghadapi kekeringan kali ini, petani di Kampung Manggungsari, Desa Sukasirna, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, kembali mengumpulkan dana swadaya membuat satu kincir air sebagai cara alternatif mengairi sawah. Cara ini harus dilakukan guna menekan kerugian akibat musim kemarau panjang. ”Hingga kini belum ada infrastruktur pengairan sawah permanen. Padahal, sudah semakin banyak sawah mengering akibat hujan tidak pernah turun dalam sebulan terakhir,” kata Adi (35), petani Manggungsari, Senin. Kincir air ini adalah yang kedua dibuat petani Manggungsari dalam seminggu ini. Sebelumnya, atas biaya sendiri mereka membuat satu kincir air untuk mengairi sawah. Satu kincir air yang dibuat dengan dana Rp 1 juta per unit itu bisa mengairi 1 hektar lahan sawah. Adi mengatakan tidak terlalu mengharapkan bantuan pemerintah. Setiap tahun, kemandirian warga mampu membuat 6-7 kincir air guna mengairi sawah yang terdampak kekeringan. ”Tahun lalu kami bisa membuat enam kincir dari kebutuhan ideal 15 kincir untuk mengairi 15 hektar sawah di Manggungsari.” Di Banten, 75 hektar tanaman padi kekeringan. Kondisi itu terjadi sejak awal September 2014. Luas tersebut masih bisa bertambah karena ada pemerintah kabupaten/kota belum melaporkan lahan kekeringan kepada Pemerintah Provinsi Banten. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Banten, Eneng Nurcahyati, di Serang, Senin, mengatakan, sejauh ini lahan kekeringan yang paling luas berada di Kota Tangerang Selatan, yakni 37 hektar. (ANS/BAY/CHE/RWN/EGI) Post Date : 23 September 2014 |