Depot Air Rawan Bakteri

Sumber:Radar Bogor Online - 1 Maret 2013
Kategori:Air Minum
BOGOR–Warga metropolis harus berhati-hati, bila mengonsumsi air minum isi ulang di depot air minum (DAM). Sebab, air yang belum mengantongi sertifikat laik sehat akan menyebabkan diare.

Demikian diungkapkan Programmer Sanitasi Dasar Penanggulangan Pencegahan Penyakit Kesehatan Lingkungan (P3KL), Dinas Kesehatan Kota Bogor, Asep Suparman.

Dalam uji petik 2012, ada 80 titik yang dijadikan sampel di enam kecamatan dan mengambil sampel random. Hasilnya, ditemukan beberapa bakteri, seperti coliform dan E.coli. “Pada 28 sampel terkena bakteri coliform, dan 21 sampel mengandung E.coli,” ujar Asep.

Itu berarti, ada sekitar 26 persen yang tidak memenuhi syarat laik sehat. Padahal, sesuai Permenkes No 492 SK/4/2010 tentang Kualitas Air Minum, harus bebas dari bakteri E.coli.

Menurut Asep, itu disebabkan oleh masyarakat yang tidak menjaga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Faktor lainnya adalah alat maintenance yang dipakai depot, sabut pencucian galon, daya pembersihannya masih kurang, sinar ultraviolet harus menyala selama 24 jam, baik ada maupun tak ada pembeli.

“Saat ini masih banyak yang merokok dan tidak memberikan tempat pencucian tangan. Pun dengan kondisi lantai yang penuh debu,” kata Asep. Menurut dia, jika terus-menerus mengonsumsi air isi ulang yang tidak higienis maka bisa terkena diare.

Dinkes, kata dia, menyarankan empat komponen yang penting diperhatikan. Yakni mulai tangki penampungan setiap pengisian 9.000 liter harus dikuras, pompa air dari tangki besar perlu tekanan air yang besar dan tinggi, saringan atau filterasi dari tangki ada yang memakai dua atau tiga, tergantung volume tangki, dan harus diganti tiga bulan sekali, serta sinar UV harus menyala selama 24 jam.

“Kalau tidak lulus uji, tidak berhak mendapatkan rekomendasi laik sehat. Karena itu sebagai jaminan agar pembeli tidak ragu dan menjadi nilai tambah bagi usaha mereka,” jelasnya.

Sementara itu, salah satu pemilik depot air minum di Bantarjati, Wildan, mengaku sudah mengetahui hal itu. Namun, dirinya tak bisa berbuat banyak, apalagi untuk harga jualnya yang dibanderol Rp3.000. “Sejauh ini sih tetap laku, tapi kalau memang harus diperlukan sertifikat, ya tidak masalah bagi saya,” ujarnya. (ram/b)

Post Date : 01 Maret 2013