|
Ani, 51, ditemani suaminya, Surmi, 56, tidak pernah melupakan saat-saat mereka kesusahan mendapatkan air bersih. Saat ditemui Media Indonesia di depan rumahnya yang dijadikan warung di Jalan Alpukat 5 RT 4/RW 2, Tanjung Duren, Jakarta Barat, kemarin sore, Ani tersenyum pahit mengenang masa sulit itu. “Air (PDAM) nyala dari jam 2 dini hari sampai subuh. Habis itu mati. Nungguin air sambil mata mengantuk. Kadang ngambil air dari tempat adik, yang penting ada air,” kata Ani yang tinggal bersama tiga anak dan dua menantu itu. Bila sore hari sekitar pukul 15.00 WiB, Surmi menampung air buat anak-anaknya yang akan mandi setelah pulang kerja. Layanan air yang diterima warga memang belum memuaskan. Pasalnya kadang air mengucur deras, kadang pula kecil hingga mati alias tidak mengalir. Sarmi harus membeli pompa air. Biaya listrik pun jadi melonjak. “Waktu PDAM lancar, bayar air cuma Rp70 ribu, sekarang bayar listrik jadi Rp220 ribu,” keluhnya. Keluhan sama juga dialami Jaya, warga RT 3/RW 5 Kota Bambu Utara, Jakarta Barat. “Minggu lalu air enggak mengalir selama dua hari. Biasanya jalan dua hari, mati tiga hari. Begitu seterusnya. Sesuka hati mereka,” kata Jaya kesal. Ia mengakui, air dari PDAM tidak pernah lancar. Setiap hari air hanya mengalir mulai pukul 07.00-09.00 dan pukul 15.00 hingga malam hari. “Kalau ada air, langsung ditadah di belakang rumah,” ujar pria berambut panjang yang mengaku bekerja di masjid. Keluhan serupa juga diungkapkan Sulaiman, 43, yang memilih beralih ke air tanah setelah tujuh tahun berlangganan air PDAM. Menanggapi keluhan warga terhadap layanan air bersih, Pemprov DKi meminta agar harga air bersih bagi warga miskin tidak dinaikkan. namun, warga harus dididik untuk tidak memboroskan air. “Begitu juga dengan biaya penyambungan pipa baru, warga miskin harus diberi kemudahan untuk pembayaran pemasangan. Misalnya bisa dicicil,” kata Wakil Gubernur DKi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Balai Kota, kemarin. Meski mendapat kemudahan, lanjut Ahok, PDAM Jaya harus memberikan pembatasan penggunaan air bagi warga miskin, yakni 10 meter kubik. Jika warga miskin memakai 10 meter kubik, harga air yang harus dibayar sebesar Rp1.050 per meter kubik. “Tapi bila pemakaian sudah di atas itu, harga bisa dinaikkan menjadi Rp12 ribu per meter kubik. Air harus dikendalikan,” tegasnya. Menurutnya, warga miskin harus diberi stimulus ekonomi walaupun upah minimum provinsi di Jakarta naik. Tujuannya agar warga miskin tetap punya uang. Untuk mencari keuntungan, PDAM bisa mengambil dari pelanggan yang sanggup membayar. Ahok mengingatkan, di masa depan, air sangat langka dan menjadi masalah pelik. Apalagi saat ini ruang terbuka hijau terus berkurang. ia menyebutkan RTH di Lenteng Agung yang dulunya masih 60% kini tinggal 10%. Padahal RTH berguna sebagai area resapan atau tangkapan air. Pelayanan rendah Saat ini pelayanan di sektor air minum masih relatif rendah, yakni 57%. Bahkan, 14% di antaranya pelanggan berada dari masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan layanan yang belum memuaskan itu, masyarakat mencuri air untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Menurut Ahok, kedua operator air bersih, yakni Palyja dan Aetra, selaku mitra PDAM Jaya masih memiliki tingkat kebocoran cukup tinggi, yakni 48% "Selain pencurian air, juga terjadi eksploitasi air tanah yang tidak ter kendali. Akibatnya, terjadi pe nurunan muka tanah seperti di Bun daran Hotel indonesia. Kenapa turun? Hal ini dampak dari banyaknya hotel dan mal yang menyedot air bawah tanah. Kita mau setop ini juga terbentur dengan tidak cukupnya air bakunya,” ujar Ahok. Untuk mencegah pencurian air, salah satu cara menurut Ahok ialah dengan tidak menaikkan tarif air bersih untuk masyarakat miskin. ia pun meminta agar ada pembatasan pembuatan sumur pantek untuk perusahaan. Menurutnya perusahaan harus diberi kewajiban memakai air pipa, bukan sumur pantek. “Selain itu perlu dibuat instalasi pengolahan air limbah agar tidak mencemari sungai. Sehingga baku mutu air pun tetap terjaga,” tegasnya. Apalagi saat ini tingkat pengelolaan air limbah di Jakarta sangat minim, hanya 2%, lebih rendah dari kota-kota besar lainnya di Asia. Untuk itu, jelas Ahok, perlu ada komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah ataupun pemerintah daerah penyangga sekitar Jakarta guna mendukung penyediaan air bersih bagi warganya. Pada bagian lain, Firdaus Ali, pakar air dari Universitas indonesia, menilai bahwa rumitnya pengelolaan air di Jakarta karena selama ini Pemprov DKi terus merugi. Untuk itu, Pemprov DKi ingin menggandeng operator baru seperti Manila Water dan tidak lagi bekerja sama dengan operator lama seperti Aetra dan Palyja. “Ya selama ini kerugian pengelolaan air hanya dirasakan pemprov, swasta enggak. Pasalnya investor dapat water charge (imbalan) yang diindeksasi tiap enam bulan sekali. Bisnis ini omzetnya Rp3,2 triliun lo,“ ujar Firdaus. Menurutnya inti masalah yang dihadapi pemprov saat ini dan harus diselesaikan segera ialah masalah air baku. “Pasokan air baku Jakarta terus menyusut 10 meter kubik tiap detik. Dan 13 sungai yang mengalir di Jakarta tidak semuanya ditangani pemprov. Ada yang ditangani Jawa Barat dan Banten,“ kata anggota Dewan Sumber Daya Air DKi Jakarta itu. Ia meminta pemerintah pusat ikut campur sehingga tarif air murah dan pemerintah dapat keuntungan. “Contohnya di Taipei, Taiwan, harga air Rp2.200 karena disubsidi pemerintah pusat sampai 70%. Air bersih hak dasar masyarakat supaya mereka produktif. Keuntungan pemerintah dari pajak yang dihasilkan warga produktif. Logikanya seperti itu.“ Untuk itu, lanjut Firdaus, PDAM Jaya harus siap direvitalisasi agar tidak merugi. Hervinny Wongso Post Date : 12 April 2013 |