|
KESADARAN masyarakat kota akan keterbatasan air bersih masih minim. Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan air juga masih terkotak- kotak oleh kewenangan dan batas wilayah administrasi. Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret saatnya menjadi momentum meningkatkan kesadaran melestarikan air, lalu bersinergi untuk mengelolanya. Sinergi yang dimaksud tentu saja melibatkan warga beserta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Air bersih, terutama di perkotaan, akan menjadi barang langka kecuali semua pihak berupaya melestarikan dan mengelola pemanfaatannya. Amat disayangkan, masih sedikit warga Jakarta dan sekitarnya yang mafhum akan potensi kelangkaan air bersih. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas melalui telepon pada 13-14 Maret menunjukkan hampir 80 persen responden di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) belum menyadari bahwa air bersih bisa langka jika tak diurus dengan benar. Rendahnya kesadaran warga terkait air bersih tecermin dari perilaku sehari-hari yang tidak efisien. Misalnya, tiga dari empat responden masih menggunakan gayung dan bak mandi ketika mandi. Padahal, menurut laman Kementerian Perumahan Rakyat, penggunaan pancuran (shower) tiga kali lebih hemat dibandingkan menggunakan gayung atau berendam. Satu dari dua responden juga mengaku pernah lupa mematikan keran air ketika tidak dibutuhkan. Rendahnya kesadaran juga bisa menjadi salah satu penyebab terus berlangsungnya perusakan lingkungan yang berhubungan dengan sumber daya air. Pencemaran sungai oleh limbah rumah tangga dan industri berpengaruh langsung pada sumber air bersih kota yang memanfaatkan air sungai. Alih fungsi lahan hutan di daerah hulu sungai juga akan berdampak pada ketersediaan air baku wilayah kota yang berada di hilir. Selain itu, juga terjadi eksploitasi air tanah yang berlebihan. Eksploitasi air tanah Belum terlayaninya 100 persen rumah tangga di Jabodetabek oleh jaringan perpipaan air bersih menyebabkan separuh responden selama ini menggunakan air tanah. Di benak mayoritas peserta jajak pendapat, sumber utama air bersih di perkotaan adalah air yang disedot dari dalam tanah, bukan yang berasal dari sungai, waduk, ataupun lainnya. Penggunaan air tanah sebagai sumber utama air bersih kota membawa sejumlah dampak terhadap pasokan dan kualitas air tanah. Hal itu bisa mengancam upaya konservasi air tanah. Asdak (1995) dalam buku Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai menyebutkan, dampak yang diciptakan adalah pencemaran sumur jika dekat dengan aliran sungai yang tercemar serta intrusi air laut. Selain itu, juga tinggi permukaan air yang makin menjauh dari permukaan sumur serta penurunan muka tanah, terutama saat musim kemarau. Penurunan muka tanah dan intrusi air laut juga terjadi di kawasan Jakarta akibat pemakaian air tanah yang eksesif. Penurunan muka tanah parah tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Penurunan tanah di Jakarta selama 1997-2011 berkisar 1-15 sentimeter per tahun (Kompas, 18 Februari 2014). Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya mengurangi penggunaan air tanah secara perlahan. Pada tahun 2020, ditargetkan maksimal 15 persen saja kebutuhan air bersih yang dipenuhi oleh air tanah. Selebihnya diharapkan sudah dilayani oleh jaringan pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tahun 2030, pemerintah menargetkan sama sekali tidak ada pengambilan air tanah. Menurut data PAM Jaya, hingga 2012 jaringan pipa PDAM Jakarta baru bisa melayani 61 persen penduduk saja Krisis air menghadang Selain terancam oleh eksploitasi air tanah yang eksesif, wilayah perkotaan ini juga dihadang krisis air. Sampai tahun 2015, menurut perhitungan PAM Jaya, Jakarta masih membutuhkan air sekitar 10.000 liter per detik. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, Jakarta akan defisit air sekitar 22.000 liter per detik pada 2030. Tak hanya di Jakarta, krisis air bersih juga mengancam wilayah tetangga, misalnya Bekasi. Sumber air bersih Bekasi mengandalkan Kali Bekasi yang disalurkan melalui saluran Tarum Barat. Cakupan pelayanan air bersih perpipaan oleh PDAM Tirta Patriot dan PDAM Tirta Bhagasasi baru bisa melayani sekitar 50 persen penduduk kota dan kabupaten Bekasi. Aliran air PDAM pun kerap ngadat karena jaringan pipa rusak, penutupan akses pengambilan air bersih karena luapan Kali Bekasi, serta terbatasnya kapasitas instalasi pengolahan air. Kualitas air PDAM juga tidak layak dikonsumsi. Ada sekelompok responden dari Bekasi yang menyebutkan kualitas air di wilayah tempat tinggalnya buruk. Sementara itu, warga Bekasi yang tidak terlayani PDAM masih mengandalkan air tanah yang sebagian sudah tercemar limbah industri dan air lindi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang. Kerja sama lintas daerah Di tengah minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian air bersih, penyelesaian masalah krisis air bersih di Jabodetabek tidak pernah dilakukan dengan kerja sama antardaerah. Pengelolaan air wilayah Jabodetabek hanya berhenti di atas kertas dalam program prioritas Badan Kerja Sama Pembangunan DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, yang terbentuk pada tahun 2006. Tiap- tiap wilayah hanya berupaya menyelesaikan masalahnya sendiri. Apabila ada kerja sama lintas wilayah, ancaman kekurangan air bersih mampu diatasi lebih cepat. Sungai Citarum, misalnya. Sungai terpanjang di Jawa Barat ini mengaliri Waduk Jatiluhur yang menjadi pemasok utama air bersih Jakarta. Masalahnya, pencemaran di Daerah Aliran Sungai Citarum cukup buruk dan pihak Jakarta kesulitan mengurangi pencemaran di Sungai Citarum karena tidak berada di daerah administrasinya. Kerja sama untuk mengurangi pencemaran sungai bisa dilakukan oleh Jakarta dengan 12 wilayah yang dilintasi Citarum, seperti Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, dan Indramayu. Jakarta bisa memberikan kontribusi berupa uang jasa lingkungan bagi ke-12 wilayah yang telah mengurangi pencemaran ke Sungai Citarum. Imbal baliknya, ke-12 wilayah tersebut bisa ikut memanfaatkan air sungai yang bersih sebagai sumber air baku dan menambah masukan pendapatan asli daerah. Mengantisipasi kelangkaan air bersih membutuhkan peran banyak pihak. Kesadaran masyarakat harus ditingkatkan agar perilakunya bisa berubah. Di sisi lain, instansi-instansi yang terkait pengelola air bersih harus bergerak bersama, tanpa terkotak-kotak oleh kewenangan dan batas administrasi. Saatnya semua pihak bersinergi mengantisipasi kelangkaan air bersih. (M Puteri Rosalina/ Litbang Kompas) Post Date : 24 Maret 2014 |