|
KLATEN (Media): Hampir 90% dari 86 sungai yang ada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Jateng), mengering. Debit air di Waduk Jombor juga menyusut dan tidak bisa dialirkan untuk irigasi. ''Hampir seluruh sungai di Klaten, termasuk Sungai Dengkeng (anak Bengawan Solo) kering sejak awal kemarau ini. Sungai di daerah ini tidak dapat menyimpan air karena tidak ada penambahan volume dari hulu,'' kata Pelaksana Harian (Plh) Kepala Sub Dinas Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Klaten Djoko Wiryanko kepada Media, kemarin. Menurutnya, kondisi sungai di Klaten fluktuatif. Jika musim hujan banjir, dan pada saat kemarau kering kerontang. Bahkan, tambahnya, saat musim hujan debit sungai sangat tinggi tetapi cepat surut. Sedangkan di musim kemarau, sungai kering karena lahan tangkapan air di hulu sangat buruk akibat penggundulan hutan. Sementara itu, Waduk Jombor di Kecamatan Bayat yang luasnya sekitar 180 hektare, katanya, airnya sudah tidak bisa dialirkan ke irigasi untuk mengairi lahan sawah di Kecamatan Cawas dan Trucuk. Padahal, air waduk selama ini menjadi andalah areal persawahan sekitar 600 hektare. Menurut Djoko, penyusutan air waduk cukup mengkhawatirkan, sebab elevasi air tinggal 226 sentimeter, atau jauh di bawah batas normal 350 sentimeter. Oleh karena itu, air sangat sulit dikeluarkan untuk kebutuhan irigasi. Dalam kondisi normal, Waduk Jombor mampu menampung air hampir 4 juta meter kubik. Untuk menjaga agar tidak terjadi pendangkalan, waduk yang dihuni 30 warung apung itu setiap tiga tahun sekali dikeringkan. Tujuan pengeringan itu adalah untuk membersihkan eceng gondok guna menghidupkan plankton sebagai makanan ikan. Selain itu, untuk memberikan kesempatan kepada pemilik warung apung memperbaiki kiosnya. Akibat kekeringan, sekitar 62.000 warga Kota Semarang mengalami kesulitan mendapatkan air. Mereka yang kesulitan mendapatkan air akibat kemarau berada di 30 kelurahan yang ada di 10 kecamatan. Warga terpaksa mencari air ke sumber alternatif. Warga Gisikdrono, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, dua bulan terakhir harus mengambil air dengan berjalan kaki sejauh sekitar dua kilometer di Sendang Gayam. Sebab, hanya mata air inilah satu-satunya sumber air yang bisa dimanfaatkan warga. Sementara itu, Kepala Sub Dinas Pengairan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Djoko Sasongko membantah tudingan bahwa keringnya sejumlah sumur di Mrican, Kotagede, akibat pembangunan Bendungan Mrican. Menurut Djoko, kemarin, sebelum Bendungan Mrican yang ambrol diterjang banjir dibangun, permukaan air tanah di sekitar bendungan tersebut sudah mengalami penurunan sekitar tujuh meter. Dengan penurunan itu, katanya, sumur di sekitar bendungan menjadi semakin dalam. ''Jadi tidak ada hubungannya dengan pembangunan kembali bendungan,'' katanya. Sebelumnya sejumlah warga Mrican mengaku sumur mereka kering setelah pembangunan Bendung Mrican dilakukan. Akibatnya, warga harus mengali kembali sumur mereka lebih dalam. Djoko juga menjelaskan, keringnya sumur milik warga karena faktor cuaca. ''Karena musim kemarau yang cukup panjang, maka terjadi penurunan muka air tanah. Itu sebenarnya penyebab kekeringan pada sumur-sumur mereka,'' tegasnya. (JS/AU/PW/N-2) Post Date : 10 September 2004 |