"Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa daging babi dianggap
terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya hidup dalam lingkungan yang
lebih kotor dari babi." Itulah
kalimat pembuka sebuah tulisan berjudul "Bandung, the City of Pigs" yang detik ini sedang di-retweet oleh banyak pengguna Twitter.
Tulisan
itu termuat di blog venusgotgonorrhea.wordpress.com
itu ditulis oleh warga Bulgaria yang kini tinggal di Bandung, bernama Inna
Savova.
Dalam
tulisan itu, Savova mengeluhkan betapa Bandung dipenuhi oleh sampah, sementara
warganya tidak peduli dan tetap merasa nyaman hidup di lingkungan kotor itu.
Tempat sampah yang tak
digunakan
Savova
menuliskan, ada banyak tempat sampah berbahan logam yang disediakan, berwarna
hijau untuk organik, dan putih untuk anorganik.
Namun,
bukannya justru memakainya, warga golongan pertama justru merusak dan menjual
logam bahan tempat sampah itu.
Mengetahui
perilaku warga, pemerintah kota berupaya untuk mencegah perusakan dengan
menambahkan semen cor saat
menaruh tempat sampah itu.
Namun,
warga yang "lebih aktif", tulis Savova, tak kehilangan akal. Mereka
tetap merusaknya dengan kemarahan.
Ada
juga warga yang disebut Savova "tak terlalu bersemangat", yang
memilih membawa kantong plastik ke rumah.
Warga
lain yang disebutnya "pasifis" memilih untuk membuang sampah
sembarangan di lokasi yang berdekatan dengan tempat sampah atau di jalan dan di
sekitar rumah.
"Berubah
menjadi sampah yang membusuk, bau, membentuk tumpukan lendir, di tempat yang
digunakan anak-anak untuk bermain," tulis Savova.
Taman yang penuh sampah
Savova
mengajak anaknya berjalan-jalan ke taman dekat sebuah kantor pemerintah. Ia
menyebutnya "Grumpy Scientist Place",
alih-alih tak ingin menyebut nama tempat sebenarnya.
Pada
hari kerja, taman itu hanya berisi orang paruh baya. Namun, pada akhir pekan,
ada banyak anak muda yang menghabiskan akhir pekan dengan "work out" alias makan.
Pada
suatu Selasa, Savova mengunjungi taman itu dan menjumpai betapa tempat tersebut
dipenuhi oleh sampah.
"Tempat
itu ditutupi oleh sampah, cup mi instan, botol air minum, kotak jus dan
usus, bungkus permen, semua jenis plastik, dan beberapa pasang sandal tak
berpemilik," tulis Savova.
Adanya
sandal yang tak berpemilik membuat Savova heran. "Saya tak habis pikir
bagaimana bisa orang kehilangan alas kaki bagus dan tak menyadarinya, berjalan
kaki telanjang," katanya.
Mempersalahkan, tidak
bertanggung jawab
Ketika
menjumpai lingkungan yang kotor, Savova mengatakan bahwa banyak warga
menyalahkan pihak lain, seperti pemerintah dan bahkan komunisme.
"Tak
ada yang berhenti sejenak dan berpikir itu adalah salah mereka sendiri.
Beberapa orang berpikir bahwa mereka hidup di lingkungan kotor karena miskin.
Itu absurd," tulis Savova.
"Biarkan
saya mengingatkan kamu tentang banyaknya pengungsi di Somalia. Mereka tidak
kotor karena mereka tidak membuang sesuatu. Bukan kemiskinan sebabnya,"
imbuhnya.
Savova
menganggap banyak warga Bandung tak bertanggung jawab dalam mengelola
lingkungannya sendiri.
"Bagaimana
mereka tidak berpikir tentang alam, kualitas hidup, pemanasan global, dan
kebersihan dasar, yang bahkan hewan saja tak membuang kotoran di tempat
tidurnya," sambungnya.
Memulung dan ditertawakan
Savova
mencoba membuat perubahan. Pada Rabu (16/1/2014), ia membawa kantong plastik
berukuran 1,5 x 1 meter untuk membersihkan sampah.
Ia
menceritakan, dalam jarak 200 meter saja, kantong plastik besar yang dibawanya
sudah penuh dengan sampah.
Ketika
mengumpulkan sampah, ia mendapat beragam respons dari warga yang melihatnya.
Ternyata, cuma sedikit yang merasa malu.
Ia
mengatakan, ada warga yang ternyata justru menertawakannya. "Karena
membersihkan sampah adalah tugas orang miskin, bodoh, dan tak berpendidikan,
sedangkan orang yang terhormat hanya membuang sampahnya dan pergi,"
ungkapnya.
Ada
pula orang yang menjerit ketika melihat aksi Savova, menganggap bahwa apa yang
dilakukannya kotor. Sampah tak seharusnya disentuh.
Selesai
membersihkan sampah itu, Savova beristirahat bersama anaknya. Namun, ia tak
bisa tenang karena di depan tempatnya tinggal, ada area terbuka dengan pohon
pisang yang juga penuh sampah.
Ketika
anaknya tidur siang, Savova memulung sampah dan gelas kaca di area itu.
Anak-anak berlari telanjang kaki dan melihatnya, sementara orangtuanya justru
diam-diam menghakiminya.
Savova
mengaku tahu bahwa ia tak bisa membersihkan sendirian. "Tujuan saya adalah
membuat orang merasa malu, bahwa saya, dengan kantong dan sepasang sarung
tangan, bisa membersihkan sampah dalam 1 jam," katanya.
Beragam respons
Tulisan
Savova menuai beragam tanggapan, yang hingga Senin (3/1/2014) mencapai 25.000
pembaca. Angka ini cukup tinggi untuk sebuah tulisan di blog.
Beberapa
masalah lain juga diungkap dalam tulisan itu, seperti banyaknya tikus, dan
konsumsi air.
Beberapa
orang sangat setuju dengan kritik Savova. Yang lain setuju, tetapi sekaligus
menganggap tulisan itu terlalu ofensif, apalagi saat menyebut "city of pigs".
Di
Twitter, tulisan Savova banyak di-retweet. Banyak pengguna me-mention Ridwan Kamil, wali kota baru Bandung.
Tentang
tulisan yang dianggap ofensif, Savova mengatakan bahwa hal itu dilakukan agar
warga mengingat apa yang dikatakannya.
Ia
menantang warga Bandung untuk mengubah perilakunya, dan membuktikan bahwa apa
yang dikatakannya salah.
Savova
berkali-kali berkunjung ke Indonesia. Ia telah 3,5 tahun tinggal di Bandung. Ia
selama 6 bulan tinggal di kawasan Setiabudi, 1,5 tahun di Antapani, dan 1,5
tahun di Ujungberung.
Post Date : 04 Februari 2014
|