|
Bagi sebagian besar masyarakat, sampah mungkin merupakan sesuatu yang tidak memiliki nilai guna dan tidak ada harganya sehingga harus segera disingkirkan. Namun di tangan bu haji Asmiyati, sampah bisa membawa berkah yang punya nilai ekonomi tinggi. Hj. Asmiyati, warga Perumahan Ciledug Indah 2, Kecamatan Pedurenan, Kelurahan Karang Tengah, Kota Tangerang, memiliki ide untuk memanfaatkan sampah-sampah sisa rumah tangga. Karena melihat begitu banyak sampah yang berserakan di sekitar rumahnya dan tidak tertata dengan baik, maka dia pun mencari cara agar sampah-sampah ini tidak hanya bisa ditata tetapi juga menghasilkan sesuatu. "Ini kita lakukan agar sampah itu tidak membawa masalah bagi kita tetapi membawa keuntungan. Dengan kita mengumpulkan sampah, otomatis lingkungan menjadi bersih dan juga ibu-ibu bisa berkreasi sehingga punya pendapatan dari kreasi itu," ujarnya saat ditemui Liputan6.com, seperti ditulis Senin (13/5/2013).
Memulai kegiatan pada tahun 2010 dengan mengajarkan masyarakat
sekitar untuk memilah sampah sesuai dengan jenis yang ditentukan, yaitu sampah
organik dan non-organik.
Untuk jenis sampah organik seperti daun dan sisa makanan bisa dimanfaatkan
untuk membuat pupuk kompos. Sedang sampah non-organik seperti kertas, kantong
plastik belanja, bekas pembungkus kopi, gelas bekas air mineral, botol, kaleng,
kardus dan sebagainya bisa dijual kembali ke pengepul atau dimanfaatkan kembali
untuk dibuat kerajinan.
"Awal mulanya kita hanya sekedar memilah dan mengumpulkan sampah di
masing-masing rumah, kemudian memberikannya kepada pemulung. Kemudian muncul
ide agar sampah-sampah tersebut dikumpulkan terlebih dahulu disuatu tempat, dan
bila sudah terkumpul banyak, bisa dijual," jelasnya.
Akhirnya pada bulan Oktober 2012 lalu mulailah dibuat bank sampah yang diberi nama 'Nirwana' yang beranggotakan sekitar 145 orang dengan 10 orang pengurus. Bank sampah ini bertujuan untuk mengakomodir sampah-sampah non-organik yang sudah dipilah dan dikumpulkan para anggota. Kemudian dari sampah-sampah yang sudah terkumpul tersebut, setiap dua minggu sekali dijual kepada pengepul. Sebelum dijual, biasanya dilakukan penimbangan dan pencatatan, menggunakan buku tabungan, sehingga sampah yang dibawa oleh masing-masing anggota diketahui jenis sampah, berat dan banyaknya. Ini untuk menentukan berapa banyak seorang anggota mendapatkan uang dari hasil penjualan sampahnya tersebut. Sampah-sampah yang akan dijual juga sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu agar nilai jualnya bisa lebih tinggi. Seperti contoh, gelas bekas air mineral, bisa dihargai Rp 5.000-Rp 6.000 per kg, kardus bekas pembungkus mie instan atau bekas barang elektronik dihargai Rp 1.000-1.300 per kg, sampah kertas dihargai Rp800-Rp1.100 per kg. Dalam sekali penjualan, total untuk masing-masing jenis sampah ini bisa mencapai berat 500 kg. Sesuai kesepakatan bersama, uang hasil penjualan disimpan dalam kas dan buku tabungan masing-masing anggota menjadi pencatat berapa banyak uang yang dikumpulkan untuk nanti setelah beberapa bulan baru bisa diambil. Rata-rata setiap anggota dalam sekali penimbangan dan penjualan tersebut, bisa mendapatkan uang sekitar Rp 10.000 sampai lebih dari Rp 20.000. "Manfaatnya sangat besar, selain setiap anggota mendapatkan uang tambahan dari sini dan kalau setiap wilayah bisa menerapkan ini juga, bayangkan berapa banyak sampah yang tidak lagi harus dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga tidak bertumpuk sia-sia disana," kata wanita kelahiran 20 Februari 1962 ini.
Sementara sampah yang biasanya digunakan untuk dibuat kembali
menjadi barang kreasi bernilai jual yaitu sampah sachet bekas pembungkus kopi
atau shampoo dan kantung kresek.
Dari sampah-sampah ini, biasanya dibuat menjadi barang seperti dompet, tas,
sarung handphone, bunga, tikar, alas gelas, keranjang, bros, tempat tissue,
sarung tempat minuman, juga aksesoris seperti bandana, gelang, kalung, hiasan
berbentuk hewan dan masih banyak lagi.
Cara pembuatannya, terbilang cukup rumit dan membutuhkan kesabaran, karena menggunakan teknik lipat tertentu untuk mengaitkan satu pembungkus dengan pembungkus yang lain agar kuat dan tidak mudah rusak. Untuk saat ini sendiri, para pengrajin yang kebanyak merupakan ibu-ibu rumah tangga tersebut lebih banyak membuat tas, dompet dan bunga karena barang-barang seperti itu yang saat ini sedang banyak dipesan. Untuk satu tas saja, paling tidak membutuhkan lebih dari 500 bungkus kopi. Dan untuk mensiasati terbatasnya pembungkus kopi tersebut, ibu-ibu ini juga bekerjasama dengan warung kopi dan warung makan untuk mengumpulkan sisa-sisa pembungkus kopi tersebut, dan dihargai sekitar Rp 20-Rp 25 per sachet. Untuk harga jualnya pun bervariasi, mulai Rp 5.000-Rp 200.000. Saat ini, pemasarannya dilakukan dari mulut ke mulut, melalui media sosial seperti facebook, atau saat ikut serta dalam pameran. Asmiyati sendiri mengaku banyak melakukan percobaan sendiri dan melihat di internet tentang cara membuat lipatan yang baik dan kuat. Perjuangan Asmiyati bersama para kadernya sendiri sejak awal mencetuskan ide ini terbilang tidak mudah. Menurutnya, sampai saat ini pun masih sulit sekali mengajak orang lain untuk belajar mengumpulkan sampah, karena selain mengajak, juga harus juga disertai perubahan pola pikir bahwa sampah-sampah tersebut seharusnya masih bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai jual sehingga tidak terbuang begitu saja. "Saya sendiri tidak pernah menjanjikan suatu keuntungan yang besar kepada para anggota. Yang jelas dengan sampah ini, bila kita mau ikut berkecimpung dan menekuninya, pasti ada sesuatu yang bisa kita dapatkan," tegas wanita keturunan Minang ini. Dia sendiri berharap kedepannya akan lebih banyak lagi masyakat yang peduli dan mau ikut serta memanfaatkan sampah dengan baik, sehingga lingkungan pun dapat tertata dan bebas dari sampah. Selain itu, peran serta pemerintah, khususnya pemerintah kota dapat dapat lebih intensif lagi sehingga konsep bank sampah dan pemanfaatannya ini dapat lebih banyak lagi diterapkan diberbagai wilayah. Post Date : 13 Mei 2013 |