|
Krisis air bersih menjadi persoalan yang semakin serius. Kebutuhan terus bertambah, sementara sumber air baku terbatas. Tanpa perencanaan dan usaha mencari sumber baru, defisit air semakin besar khususnya di Pulau Jawa. Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari luas Indonesia ini dihuni 65 persen penduduk Indonesia, tetapi hanya memiliki potensi air tawar 4,5 persen dari potensi nasional. Jumlah air tawar semakin terbatas. Sementara itu, pertumbuhan penduduk yang pesat belum diimbangi dengan penyediaan air baku secara serius. Di Jakarta, krisis sudah terjadi 18 tahun lalu, dan sampai sekarang belum terselesaikan,” kata anggota Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Firdaus Ali, Minggu (17/3), di Jakarta. Pulau Jawa yang padat penduduk mengalami krisis air ketika kemarau dan kelebihan air saat hujan. Saat kemarau, kebutuhan air tawar 38,4 miliar meter kubik, sedangkan potensi air hanya 25,29 miliar meter kubik. Adapun saat musim hujan kebutuhan air mencapai 27,43 miliar meter kubik, sedangkan ketersediaan air 101,16 miliar meter kubik. Perebutan air Menurut Firdaus, perebutan air bersih tak terhindarkan lagi. Pemerintah daerah dan pusat tidak mampu menjamin ketersediaan dan kualitas air. Akibatnya, beban berat mendapatkan air ditanggung warga sebagai konsumen. ”Di Jawa Barat dan DKI Jakarta, warga di dua wilayah ini memperebutkan sumber air yang sama di Waduk Djuanda,” tuturnya. Sementara itu, pertumbuhan kawasan di sepanjang Purwakarta dan Bekasi begitu pesat. Pengelola air di Jakarta juga terganggu kepentingannya karena suplai berkurang ketika warga Bekasi, Jawa Barat, kebanjiran, seperti yang terjadi pada 18 Januari dan 5 Februari lalu. Hal ini membuat ratusan ribu sambungan air bersih di Jakarta mengalami gangguan. Berkali-kali peristiwa seperti ini terulang saat banjir atau Kali Bekasi tercemar. ”Untuk menyelesaikan masalah itu perlu pembangunan siphon di Kali Bekasi,” kata Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan dan Pemanfaatan Air Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, Wijayanto. Sebaliknya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menuding luapan air terjadi karena pembangunan siphon. Saat itu, petugas diminta segera membuka Bendung Bekasi. Air pun meluncur alias terbuang ke laut. Sementara itu, aliran Kalimalang kurang lancar. Akibatnya, saat banjir, warga Jakarta krisis air. Air asin Di tengah perebutan air bersih tersebut, masih banyak warga yang belum menerima pasokan air melalui pipa. Kondisi ini memaksa warga mengonsumsi air asin. Saat ini, air laut sudah masuk ke daratan Jakarta sejauh 1 kilometer dari bibir pantai. Sejumlah warga Kelurahan Sukapura, Kecamatan Cilincing, dan Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, misalnya, memompa air tanah yang payau. Ketua RT 002 RW 010 Sukapura, Masrukhi (44), mengatakan, warga sudah terbiasa mengonsumsi air berwarna kekuningan dan agak asin. Tak sedikit warga yang terpaksa pergi ke toilet umum di Pasar Sukapura untuk mandi atau buang air besar. ”Air sumur sebenarnya keruh kekuningan, rasanya asin, dan lengket kalau dipakai buat mandi, tetapi warga tak punya pilihan lain,” kata Masrukhi. Saat Masrukhi dan warganya kesulitan air, debit Kali Bekasi di wilayah Kota Bekasi melonjak hingga 650 meter kubik per detik akibat tingginya curah hujan di hulu sungai. Angka ini dua kali lipat dari debit normalnya yang berkisar antara 250 dan 300 meter kubik per detik sehingga memicu banjir. Kualitas menurun Tidak hanya defisit, suplai air dari Kanal Tarum Barat sebesar 82 persen total air baku Jakarta, kualitasnya juga semakin menurun. Berdasarkan catatan PD PAM Jakarta Raya, kandungan amoniak (NH3) tahun 2010 sebesar 2,9 miligram (mg) per liter. Sementara itu pada 2011, kandungan NH3 meningkat menjadi 4,8 mg per liter. Padahal standar ambang batas air baku 1 mg per liter. Begitu pun dengan Kali Bekasi yang terhubung dengan Tarum Barat, kualitasnya memburuk sesuai hasil ujian lapangan pada akhir 2012 di enam lokasi penelitian. Kandungan chemical oxygen demand (COD) sudah melampaui ambang batas 25 mg per liter. Semakin rendah kandungan oksigen kimia, maka kian sedikit organisme yang bisa hidup dalam air. Ini memperkuat bukti bahwa air tidak layak dipakai atau dikonsumsi. ”Kualitas air yang memburuk berakibat pada meningkatnya biaya pengolahan. Biaya pengolahan itu ditanggung dua operator, operator memasukkan biaya pengolahan ke komponen water charge yang dibayar Pam Jaya dari pemasukan tarif konsumen. Artinya, konsumen yang menanggung beban itu,” tutur Wibisono Harisantoso, staf ahli Hubungan Antar Lembaga PD Pam Jaya. Menurut Wibisono, buruknya kualitas air Tarum Barat dan Kali Bekasi terjadi karena lemahnya pengawasan kawasan itu. Tarum Barat berasal dari Waduk Ir Djuanda mengalir ke Jakarta melewati Provinsi Jawa Barat. Seharusnya, menurut Firdaus Ali, pemerintah pusat yang bertanggung jawab. Kewenangannya sudah jelas, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ”Secara hitungan ekonomi pemerintah mampu, tetapi secara politis persoalan ini tidak mudah dan berbelit. Membiarkan warga menanggung beban krisis air sama saja mengingkari amanat undang-undang,” kata Firdaus. (MKN/BRO/NDY) Post Date : 18 Maret 2013 |