|
DKI JAKARTA mengalami krisis air bersih. Operator air bersih yang dikelola swasta hingga saat ini belum mampu menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan warga. Itulah sebabnya, sejumlah lembaga menggugat agar air dikelola oleh negara. Anggota Dewan Sumber Daya Air, Firdaus Ali, mengatakan, operator air bersih di Jakarta--Palyja dan Aetra--belum mampu menyediakan air bersih untuk warga. Kedua operator air bersih itu baru mampu memproduksi air sebanyak 18,7 meter kubik per detik. Sementara kebutuhan Jakarta atas air bersih 29,6 meter kubik per detik dengan asumsi jumlah penduduk 9,6 juta jiwa. “Tahun 2025 jumlah penduduk Jakarta mencapai 14,6 juta jiwa. Kebutuhan air bersih saat itu mencapai 41,3 meter kubik per detik,” kata Firdaus kepada Jurnal Nasional, Minggu (23/3). Firdaus mengungkapkan, sumber air baku untuk Jakarta diperebutkan oleh daerah sekitar. Karena, banyak pihak berkepentingan yang ingin mengambil alih. Maka itu, perlu sistem pengelolaam dan pendistribusian air bersih yang baik agar kebutuhan Jakarta tercukupi. “Bila pengelolaannya diserahkan kepada swasta akan merugikan daerah. Sebab, operator air belum mampu menutupi kebutuhan seluruh publik Jakata,” ujarnya. Tahun 2013 Pemprov DKI Jakarta tengah berupaya membeli 49 persen saham salah satu operator air--PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA)--melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Namun, hingga kini belum terealisasi karena masih dalam proses. Harus Hati-hati Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan, Pemprov DKI harus berhati-hati jika mengakuisisi. Karenam operator itu perusahaan luar negeri. Jika saham mereka dibeli oleh pemerintah, pemilik perusahaan tidak akan tinggal diam. “Pemerintah dapat melakukan upaya dengan merevitalisasi sungai, situ, dan waduk yang ada,” katanya. Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, pun mengatakan, pihaknya telah melakukan gugatan ke pengadilan terkait pengelolaan air bersih. “Apapun hasil keputusan pengadilan, operator air harus tunduk pada keputusan tersebut,” ujarnya. Gugatan ini dilakukan untuk membela kepentingan masyarakat. Sebab, selama pengelolaan air bersih dikonsesikan ke pihak swasta, kualitas pelayanan tidak pernah baik. Selain itu, masyarakat yang pelayanannnya terganggu tetap membayar tagihan. Sesuai UUD 1945 Pasal 33, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. ”Hingga kini upaya kemakmuran untuk mendapatkan jaminan air bersih tidak tercapai, karena dikuasai oleh swasta. Ada indikasi, penyerahan operasi itu sarat korupsi,” katanya. Dipertanyakan Wakil Gubenur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, mengatakan, pihaknya telah mempertanyakan penggunaan air bersih oleh warga miskin kepada PDAM dan Badan Regulator PAM. Karena, berdasarkan survei World Health Organization (WHO), keluarga miskin menggunakan air bersih rata-rata hanya 10 kubik per bulan. Namun, kenyataan di lapangan, penggunaan air minum warga miskin Jakarta mencapai 35-100 kubik per bulan. Ahok juga mempertanyakan harga jual yang diberikan operator kepada perusahaan layanan kapal laut sebesar Rp30.000 per kubik. Sementara uang yang masuk tidak kelihatan. Padahal, tingkat kehilangan air minum di wilayah Utara Jakarta mencapai 40 persen. “Siapa yang mengambil? Sementara PDAM kehilangan air rata-rata 40 persen di Utara. Saya minta PDAM mengusut kasus ini, kalau bukan oknum PDAM yang main di sini,” katanya, tegas. Fauzan Hilal Post Date : 24 Maret 2014 |