|
Indonesia mengalami 60 kali peristiwa banjir berdasarkan data yang dihimpun selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, dan menjadi salah satu negara paling sering terkena bencana tersebut di Asia Tenggara, kata Dosen Teknik Sipil, Universitas Andalas, Nurhamidah. "Banjir terkonsentrasi di daerah delta atau dataran rendah yang letaknya kurang dari 100 meter di bawah permukaan laut," ujarnya di Delf, Belanda, Sabtu. Nurhamidah mengemukakan hal tersebut saat memberikan kuliah umum berjudul "Floods: Not Only Jakarta! Sumatra Also Suffered by Floods and Significant Land Subsidence" (Banjir: bukan hanya Jakarta! Sumatra juga alami banjir dan penurunan permukaan tanah) yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft. Menurut dia, daerah dataran rendah sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, peningkatan volume air sungai dan erosi kawasan di pesisir. Selain itu, ia menilai, pembabatan hutan dan penurunan lahan juga menjadi penyebab terjadinya banjir di daerah delta. "Kita lebih sering mendengar Jakarta jika bicara soal banjir, padahal hampir seluruh wilayah di Indonesia punya kondisi demikian, sehingga juga rawan terhadap banjir," jelas kandidat doktor di Universitas Teknologi Delft, Belanda. Dia mengemukakan, selain curah hujan tinggi yang mencapai 3.000 milimeter (mm) per tahun, faktor alamiah lainnya yang juga dapat memicu banjir di wilayah Indonesia adalah komposisi lahan gambut yang tersebar di daerah pesisir pantai. "Lahan gambut sangat lunak karena tersusun dari bahan-bahan organik, sehingga mudah mengalami penurunan jika terkena beban. Sekali mengalami penurunan, maka lahan gambut akan turun terus," katanya. Di Indonesia, menurut dia, lahan dan hutan gambut tersebar di Sumatera bagian utara hingga tenggara, Kalimantan dan Papua, terutama di pesisir selatan. Nurhamidah mengatakan, penanganan banjir harus didasarkan pada deskripsi terpadu mengenai interkorelasi faktor-faktor penyebab banjir baik yang sifatnya alamiah, seperti curah hujan, struktur tanah dan pasang surut, maupun buatan manusia seperti pembabaran hutan, alih fungsi lahan dan sampah. Jika pendekatannya terpadu, ia menilai, maka manajemen banjir yang diterapkan pada suatu wilayah bisa benar-benar menyelesaikan persoalan ini. Dia menjelaskan, manajemen banjir dapat dilakukan secara struktural dan non-struktural. Penanganan struktural bisa melalui normalisasi fungsi lahan, pengerukan dan membangun sistem pengairan yang terintegrasi, dan mutu manajemen non-struktural dilakukan melalui partisipasi masyarakat dan penegakan hukum, misalnya penetapan denda bagi orang yang membuang sampah sembarangan, demikian Nurhamidah. Post Date : 13 Mei 2013 |