|
Air merupakan sumber kehidupan. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air menduduki peran utama bagi berbagai kepentingan seperti budidaya pertanian, industri, hingga penyediaan air bersih dan bahan baku air minum. Air juga memberi manfaat sebagai sumber penghasil listrik maupun sebagai sarana transportasi. Begitu asasinya kebutuhan akan air maka negara mengemban tanggung jawab untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Sayangnya, problem kelangkaan air masih saja terdengar. Masyarakat desa di negara tropis, seperti Indonesia harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas. Di dunia saat ini, pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 miliar penduduk. Para ahli meramalkan, dunia yang diperkirakan berpenduduk 8,3 miliar pada 2025 akan menghadapi kelangkaan air bersih yang cukup parah. Tak hanya problem kelangkaan, pencemaran pun telah menjadi agenda tambahan yang turut memperumit problem seputar air ini. Semua orang berharap seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun, kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Akibatnya, hampir separo penduduk dunia (hampir seluruhnya di negara-negara berkembang) dikabarkan menderita berbagai penyakit akibat kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air. Sejak lama agenda ini didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Baik World Bank dan ADB dalam kebijakannya soal air mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Artinya, konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Pada kenyataanya, justru kelompok masyarakat miskin yang semakin jauh dari akses terhadap air dengan meningkatnya tarif air. Telah lama World Bank menyatakan bahwa manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai 'komoditas ekonomis' dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan. (World Bank, 1992) Privatisasi air di sini meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta. vPBB, World Bank, dan IMF mempopulerkan konsep good governance sebagai dasar kriteria negara-negara 'yang baik' dan 'berhasil dalam pembangunan'. Konsep ini menjadi semacam kriteria untuk memperoleh bantuan berupa hibah ataupun utang. Namun, konsep ini sebenarnya masih samar. World Bank menambahkan karakteristik normatif good governance. Yaitu, pelayanan publik yang efisen, sistem hukum independen bebas intervensi kekuasaan, kerangka kerja legal untuk mendorong kontrak (perlindungan hak milik pribadi), administrasi akuntabel dari pembiayaan publik (transparasi), auditor publik yang independen, bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan legislatif, respek terhadap hukum dan hak asasi manusia pada semua level pemerintahan (pencegahan diskriminasi terhadap kaum minoritas), struktur institusi yang pluralistik, dan kebebasan pers (hak kebebasan berbicara). Istilah-istilah kenegaraan ini sering dipakai untuk membungkus substansi dan maksud tersembunyi di dalamnya. Negara-negara seluruh dunia lalu mengadopsi konsep ini dengan harapan pelaksanaannya melibatkan pemerintah, badan usaha dan lembaga nirlaba yang dikelola secara profesional-komersial layaknya perusahaan. Kampanye Hari Air Sedunia dengan tema "International Years of Water Cooperation" jelas merupakan upaya untuk membuka kran lebar-lebar bagi setiap negara, terutama negara yang memiliki bargaining posisi lemah seperti Indonesia untuk menyediakan diri atas masuknya berbagai perusahaan swasta dan investor asing di sektor penyediaan air bersih di negaranya. Dengan berlindung di balik kemasan "kerja sama internasional", air yang merupakan kebutuhan asasi manusia tidak lagi dipandang sebagai barang publik melainkan dilihat sebagai komoditas ekonomi semata. Selanjutnya kebutuhan rakyat akan air bersih dikelola dengan mekanisme pasar. Rakyat akhirnya dipaksa membeli air bersih di rumah sendiri dengan tarif yang ditentukan oleh pasar. Ironis, fungsi negara yang seharusnya sebagai pelayan dan pengatur urusan rakyatnya malah bergeser menjadi fasilitator kepentingan-kepentingan bisnis dengan mengorbankan hajat hidup orang banyak. Soal intervensi asing yang dibungkus indah ini, ada sejumlah indikasi bahwa puluhan RUU kita mengakomodir kepentingan asing. Keterlibatan Bank Dunia antara lain sebagai konsultan dalam sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berbasis masyarakat, telah membuat pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain, UU Pendidikan Nasional, UU Kesehatan, UU Kelistrikan, dan UU Sumber Daya Air. Dengan demikian akankah kita membiarkan bangsa kita menjadi korban kerja sama internasional? Penulis adalah penulis skenario film-film dokumenter tentang
Post Date : 31 Mei 2013 |