|
SEMARANG, KOMPAS — Air tanah kerap terabaikan dalam mengatasi banjir yang terus terjadi setiap tahun. Padahal, air tanah memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya banjir jika tidak dikelola dengan benar. Pakar hidrologi Universitas Diponegoro, Robert J Kodoatie, Selasa (4/2), di Kota Semarang, Jawa Tengah, mengatakan, salah satu penyebab banjir adalah air tanah naik ke permukaan hingga bercampur dengan air permukaan. Berdasarkan cekungan air tanah (CAT), sebuah daerah seharusnya ditata berdasarkan tiga fungsi, yaitu daerah resapan, daerah transisi, dan daerah lepasan. Daerah resapan seharusnya ada banyak situ dan tempat resapan air, daerah transisi adalah daerah yang ideal untuk permukiman, serta daerah lepasan menjadi tempat pembangunan infrastruktur drainase dan banjir. ”Jadi, jika terjadi banjir (di Jakarta), memang wajar karena daerah itu tempat untuk air. Masalahnya, tempat-tempat untuk air itu kini hilang. Di selatan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tercatat ada 1.147 situ. Kini, sebagian besar situ hilang, berganti perumahan,” kata Robert. Pembangunan infrastruktur, seperti yang banyak dilakukan di Jakarta, juga Kota Semarang, menurut Robert, hanya dapat mengurangi 20 persen genangan air yang terjadi saat banjir. Sisanya, 80 persen, harus diatasi dengan memanajemen banjir, sesuai CAT yang telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah. Di daerah resapan, setiap permukiman harus mengompensasi sebagian lahan untuk daerah resapan, baik dibuat situ maupun sumur resapan. Robert membandingkan dengan kawasan di Winnipeg, Kanada, yang curah hujannya jauh lebih rendah daripada Indonesia, tetapi di setiap kawasan perumahan selalu ada situ atau kolam guna menampung air. Kolam itu tidak hanya berfungsi menampung air saat hujan, tetapi juga berguna untuk ketersediaan air pada musim kemarau. Tak pernah hujan Kemarin, banjir masih terjadi di pantai utara Kabupaten Kendal dan Kota Semarang. Banjir terjadi akibat jebolnya tanggul Kali Bodri di Desa Wonosari, Patebon, sepanjang 20 meter lebih. Luapan itu membanjiri sedikitnya 10 desa dan menggenangi 3.000 rumah sedalam 30-60 sentimeter. Akibatnya, arus kendaraan bermotor di jalur pantura mulai dari Mangkang, Kota Semarang, hingga Kaliwungu, Kendal, atau sebaliknya sejauh sekitar 5 kilometer macet total. Sejak Senin malam hingga Selasa dini hari, tim SAR mengevakuasi warga di Kelurahan Wonosari dan Mangkang karena ketinggian air mencapai lebih dari 1 meter. Menurut Kepala Basarnas Kantor SAR Semarang Agus Haryono, timnya mengevakuasi 30 warga yang terjebak di rumah saat banjir. Di NTT, meski tak pernah hujan, enam desa di Kecamatan Malaka Barat dan Lamaknen, Kabupaten Malaka, terendam banjir. Sekitar 500 hektar sawah tadah hujan terendam dan bakal gagal panen. Banjir mengalir dari Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Belu melalui Sungai Benanain. ”Sejak pertengahan Januari, daerah ini tak pernah hujan. Namun, empat hari terakhir diterjang banjir besar,” ujar Penjabat Bupati Malaka Herman Naiulu. Tak ada korban jiwa, tetapi semua sumber air bersih tercemar. (UTI/WHO/WEN/KOR/ETA/BAH) Post Date : 05 Februari 2014 |