|
DERU suara generator memenuhi salah satu ruangan di Rumah Kompos Bratang, Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/3). Irwan Mulyana (27) mendekati sebuah tabung berwarna hitam setinggi 3 meter. Ia membuka salah satu penutup tabung itu dan terlihat sampah yang sudah hangus terbakar. ”Sampah ini bisa bikin taman di sebelah terang, loh,” kata Irwan. Taman yang ia maksud itu adalah Taman Flora Bratang, salah satu taman yang tertata apik di Kota Surabaya. Irwan adalah salah satu pekerja yang menangani kegiatan operasional unit pembangkit listrik gasifikasi sampah kering yang baru didirikan di Rumah Kompos Bratang sejak akhir 2013. Unit pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga uap dari pembakaran sampah ini merupakan inovasi pengolahan sampah terbaru dan pertama yang dimiliki Surabaya. Unit pembangkit listrik itu dikembangkan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Dari peralatan itu dapat dihasilkan listrik berdaya 4.000 watt yang dapat dipakai untuk menyalakan lampu-lampu di taman ataupun di rumah kompos pada malam hari. Cara kerjanya pun sangat sederhana. Irwan dan seorang rekannya hanya perlu mengumpulkan sampah berupa ranting atau daun kering dan sampah plastik, seperti bungkus detergen atau bungkus makanan ringan. Setiap hari dibutuhkan sekitar 1 kuintal sampah kering. Sampah kering yang paling banyak tersedia di tempat itu adalah ranting-ranting dan daun-daun kering yang diperoleh dari pemangkasan pohon di pinggir jalan. Sementara sampah plastik diperoleh dari tempat pembuangan sampah terdekat. Sampah-sampah itu kemudian dibakar di dalam tabung reaktor gasifikasi yang berwarna hitam itu. Uap hasil pembakaran kemudian diolah lagi dalam empat tahap sebelum dipakai untuk menggerakkan generator. Turbin yang digerakkan generator mampu menghasilkan listrik, yang kemudian disimpan untuk digunakan pada malam hari. Unit pembangkit listrik itu bekerja setiap hari dari pukul 07.00 hingga pukul 16.00. ”Memang listrik yang dihasilkan belum cukup untuk menerangi semua lampu di taman, tetapi ini sudah luar biasa. Mungkin orang tidak menyangka lampu di taman hidup gara-gara sampah,” kata Irwan. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya Chalid Buchari mengatakan, Pemerintah Kota Surabaya juga berencana mendirikan unit pembangkit listrik gasifikasi sampah kering yang kedua di kawasan Jambangan, Surabaya. ”Di Jambangan ini, kapasitas listrik yang dihasilkan akan lebih besar dan dapat dipakai para pedagang kaki lima,” katanya. Menurut Chalid, unit pembangkit listrik gasifikasi sampah kering ini merupakan ide Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Surabaya sebagai kota besar terus menghasilkan sampah dalam jumlah besar sehingga harus dimanfaatkan. Jika tidak, sampah akan terus menumpuk, mengotori kota, dan hanya menimbulkan penyakit. Sebelum unit pembangkit listrik ini ada, Rumah Kompos Bratang hanya mengolah sampah kering menjadi kompos. Di Kota Surabaya sudah ada 21 rumah kompos dan tahun ini Pemerintah Kota Surabaya berencana membangun tiga rumah kompos lagi. Kompos-kompos yang dihasilkan pun tidak dijual, tetapi dipakai untuk memupuk tanaman di taman atau pinggir jalan. Masyarakat pun boleh mengambil kompos dengan syarat tidak dijual lagi dan hanya dipakai di rumah. Dengan kompos, tanaman menjadi subur dan bertambah banyak. Setelah tumbuh tinggi dan tidak rapi, tanaman lalu dipangkas. Sisa-sisa dari pemangkasan tanaman disimpan dan kembali diolah menjadi kompos. Alur manfaat dari pengolahan sampah menjadi kompos pun berputar. Dengan adanya unit pembangkit listrik ini, pembuatan kompos ikut terbantu. Pembangkit listrik itu menghasilkan abu yang dapat dicampurkan dalam bahan kompos sehingga menjadi lebih berkualitas. Sebelumnya, kompos di Bratang hanya dibuat dengan menambahkan sampah organik berupa sisa kulit pepaya yang diperoleh dari pasar. Menjadi sorotan Sejak unit pembangkit listrik itu berdiri, menurut Irwan, banyak orang yang datang untuk mempelajarinya. Para pengunjung itu antara lain peserta forum pengolahan sampah se-Asia Pasifik yang berlangsung di Surabaya pada Februari lalu. Ada pula tamu dari Bau-Bau (Sulawesi Tenggara) dan Singapura. ”Mereka sangat tertarik dengan pembangkit listrik itu,” kata Irwan. Sementara tamu dari Singapura juga belajar mengenai pembuatan kompos. Mereka heran karena pembuatan kompos di Singapura bisa sampai enam bulan, sementara di Surabaya hanya 21 hari. Selain rumah kompos dan pembangkit listrik, sebelumnya Surabaya juga sudah menjadi sorotan baik dari dalam negeri maupun luar negeri karena memiliki perkampungan yang warganya mampu mengelola dan mengolah sampah secara mandiri. Perkampungan itu terletak di Kelurahan Jambangan dan kini sudah menjadi sebuah desa wisata. Saat menyusuri gang-gang di kampung Jambangan, pengunjung melintasi jalan paving block yang pinggirnya dicat hijau dan kuning supaya terlihat cerah. Tong sampah banyak ditemui di sepanjang jalan kampung. Pada sore hari, kampung terlihat ramai karena banyak anak yang memanfaatkan taman bermain di beberapa lokasi. Jambangan bisa menjadi bersih karena warga memiliki kesadaran untuk memilah-milah sampahnya sendiri. Sampah organik diolah menjadi kompos, sedangkan sampah kering disetorkan ke bank sampah. Dari bank sampah ini, warga memperoleh penghasilan tambahan. Tri Rismaharini mengatakan, masyarakat Surabaya lebih mudah diajak mengolah sampah karena sebagian besar sudah mengerti bahwa sampah bisa menghasilkan uang. ”Ada warga di daerah tertentu sadar karena dulu daerahnya endemik demam berdarah. Setelah mulai mengolah sampah, tidak ada demam berdarah sama sekali,” katanya. Risma pun sudah menyatakan akan terus mendorong warganya berinovasi mengelola sampah. Kreativitas dan kemauan sangat diperlukan karena semakin besar kota, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Herpin Dewanto Post Date : 02 April 2014 |