|
[JAKARTA] Sebagian besar pembangunan di Jakarta telah melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta yang dirancang hingga 2010. Pada 2004, tim evaluasi RTRW menyebutkan 80 persen RUTR menyimpang. Perkembangan pembangunan yang pesat di Ibukota hingga kini membuat penyimpangan itu bertambah parah. Penyimpangan itu, antara lain berupa alih fungsi ruang terbuka hijau dan tempat parkir air, penyempitan kali, dan pelanggaran koefisien dasar bangunan (KDB). Akibatnya, Jakarta kini menjadi kota siaga bencana, khususnya bencana banjir. Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna menyebutkan 90 persen wilayah Jakarta telah terbangun. Hal itu membuat Jakarta menjadi overload dan mengalami krisis ruang terbuka hijau (RTH). "Jakarta telah menjadi kota siaga bencana. Pemprov telah gagal menata Jakarta, termasuk menata permukiman pinggiran sungai. Setiap tahun Pemprov DKI hanya bisa merelokasi sekitar 1.000 kepala di hampir seluruh bantaran kali ke lokasi yang lebih layak. Padahal jumlah penduduk di bantaran kali hampir 70.000 keluarga. Jadi, butuh waktu 70 tahun merelokasi penduduk bantaran kali," katanya kepada SP, Selasa (11/11). Bantaran kali, lanjutnya, dihuni ribuan penduduk miskin kota, sehingga membuat saluran air semakin menyempit. Akibatnya, saat hujan dan banjir kiriman datang, kali di Jakarta tidak mampu menampung luapan air dan banjir pun tak terelakkan. "Jakarta hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang memiliki sumber daya ekonomi kuat. Ini yang menjadi masalah besar," tegasnya. Dikatakan, pesatnya pembangunan permukiman elite di pesisir pantai Jakarta menjadi penyebab berkurangnya tempat parkir air. Pembanguan kawasan permukiman di pesisir pantai telah menyimpang RTRW yang tertuang dalam Peraturan Daerah 6/1999. "Pemprov DKI memberikan izin pembangunan permukiman di pesisir pantai. Izin yang seharusnya menjadi alat pengendali nyatanya telah menjadi sumber pendapatan asli daerah. Ini sebenarnya tidak boleh terjadi," katanya. Terkait pelanggaran RTRW, Yayat menyatakan Pemprov harus segera merevisi RTRW yang ada, diikuti dengan pengendalian izin pembangunan. Pemprov juga bisa memberi insentif, keringanan pajak, dan bantuan infrastruktur, bagi warga yang mau memelihara lingkungan sesuai tata ruang. Menyinggung kemungkinan pembongkaran semua bangunan yang melanggar tata ruang, Yayat menyatakan langkah itu akan menimbulkan persoalan baru. "Pilihan yang paling berat adalah melakukan pemutihan. Tetapi, Gubernur harus menindak pejabat yang mengeluarkan izin pembangunan yang melanggar RTRW," ujarnya. Senada dengannya, Kepala Divisi Riset dan Analisis Kebijakan Publik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Hasbi Azis mengatakan revisi RTRW DKI harus mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Dikatakan, revisi itu harus memuat perubahan-perubahan mendasar, seperti perlindungan terhadap lingkungan hidup. Pihaknya juga mengingatkan Pemprov DKI Jakarta terhadap upaya intervensi pemodal besar terhadap ruang-ruang publik, perlindungan pesisir utara Jakarta, dan zonasi ruang terbuka hijau di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Pengerukan Kali Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan untuk mengantisipasi banjir, pihaknya berencana mengeruk 13 kali dan lima waduk mulai awal 2009. Pengerukan itu dilakukan secara terintegrasi dengan sumber dana dari bank dunia sekitar Rp 1,2 triliun. "Pemprov DKI bertanggung jawab menormalisasi kali mikro yang jumlahnya sekitar 35 persen hingga 40 persen dari total panjang kali yang ada. Sisanya tanggung jawab pemerintah pusat," katanya. Sedangkan, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Wiriatmoko, mengakui tata kota Jakarta telah berubah akibat pesatnya pembangunan. "Normalisasi kali, pembuatan situ dan waduk, akan menjadi prioritas untuk mengendalikan banjir," katanya. [HTS/E-7] Post Date : 12 November 2008 |