|
KARAWANG - Sekitar 80 persen saluran irigasi di Indonesia rusak, sebagian rusak berat sehingga distribusi air tidak bisa lagi diatur dengan baik. Akibatnya, jutaan petani dirugikan karena sawah-sawah mengering di saat musim kemarau dan kebanjiran ketika musim hujan mencapai puncaknya. "Pemerintah akan mencoba memperbaiki, tapi dananya sangat terbatas. Dibutuhkan biaya sekitar 14 triliun rupiah," ujar Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono ketika berdialog dengan petani di Desa Citarik, Kecamatan Tirtamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (9/7). Anton memaparkan, anggaran total Departemen Pertanian saja hanya Rp 4 triliun per tahun, sedangkan bantuan dari luar negeri tidak mudah didapatkan. Beberapa negara di Timur Tengah, sudah menjanjikan bantuan sekitar Rp 1 triliun untuk memperbaiki saluran irigasi. Masalah air memang dikeluhkan sejumlah petani Karawang, terutama di saat musim kemarau. Lahan persawahan di lumbung padi Jawa Barat ini mulai kesulitan mendapatkan air, sehingga dikhawatirkan akan terjadi gagal panen di sejumlah lokasi seperti tahun lalu. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Karawang, Iman Sumantri, saluran irigasi yang rusak di wilayahnya mencapai 82 persen, sebagian besar rusak parah sehingga tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Akibatnya, produktivitas pertanian di Karawang diperkiran menurun drastis. "Banyak saluran yang sudah mendangkal karena sedementasi. Banyak juga yang disodet atau dipotong di tengah jalan oleh warga sehingga wilayah lain tidak mendapatkan air. Tenaga pengawasnya hanya sedikit. Kami minta perhatian pemerintah pusat," ucapnya. Mentan mengatakan, pembangunan saluran irigasi sebenarnya ditangani oleh instansi lainnya. Sedangkan Departemen Pertanian sudah membentuk Direktorat Jenderal Pongalahan Lahan dan Air yang mencoba untuk menangani masalah irigasi, namun masih dalam keterbatasan. Disarankan untuk sementara para petani meneruskan upaya pengadaan air dengan cara pompanisasi, pembuatan embung dan cek dam. Para petani diminta jangan memakai pupuk kimia secara berlebihan, karena selain membutuhkan banyak air dan merusak tanah juga menyedot pupuk bersubsidi dari daerah lain yang sangat membutuhkan. Departemen Pertanian, katanya, akan membantu menguji tanah untuk mengukur kebutuhan pupuk. Para petani disarankan memakai pupuk kandang atau kompos supaya tanahnya subur dan tidak tergantung lagi pada pupuk yang dijual penyalur dan pabrik-pabrik yang terkadang langka dan harganya tinggi. Mengenai keluhan terjadinya pencemaran air sungai, khususnya Sungai Citarum, oleh pabrik yang banyak beroperasi di Karawang, Anton berjanji akan membahasnya dengan Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Penyuluh Lapangan Sejumlah petani mengeluhkan minimnya petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian. Jumlah PPL dulu banyak dan sangat membantu. Selain memberi saran-saran untuk peningkatan produksi, menjadi tempat mengadu jika petani mendapat masalah. Anton mengakui, setelah era otonomi daerah, penanganan PPL diserahkan ke daerah. Namun, tidak semua pemimpin daerah memperhatikan masalah ini. Akibatnya, PPL ditelantarkan dan banyak yang beralih profesi, bahkan ada yang tidak diangkat menjadi pegawai tetap, padahal sudah 20 tahun mengabdi. Menteri berjanji akan berusaha meyakinkan Presiden dan anggota Kabinet lainnya untuk mengangkat PPL yang masih berstatus honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dan mengangkat PPL baru hingga jumlahnya keseluruhan mencapai 68.000 orang sesuai jumlah desa yang ada di Indonesia. Dulu jumlah PPL sekitar 36.000 orang, saat ini tinggal 24.000. (S-26) Post Date : 11 Juli 2005 |