|
MEMUKUL air, tepercik muka sendiri. Peribahasa itu pantas disematkan kepada setiap orang yang dengan sadar memilih tinggal di bibir sungai. Bukan hanya yang pendidikan rendah, mereka yang pandai dan kaya pun bersiasat menentang alam. Rumah ditinggikan dan dilengkapi tanggul beton. Namun, sampai kapan siasat itu bisa berhasil? Ketika alam masih leluasa membentuk diri, air dengan mudah mencari jalannya sendiri. Alirannya mengikuti jalur sebagaimana hukum alam telah menetapkan, mengalir ke tempat yang lebih rendah. Namun, di Jakarta, aliran air seolah berpacu dengan desakan urbanisasi yang mengokupasi ruang-ruang yang sejak dulu menjadi jalur air mengalir. Sejak puluhan tahun lalu, 13 daerah aliran sungai di Jakarta tidak lagi menjadi area bebas. Maraknya okupasi bantaran sungai di Jakarta diduga mulai marak terjadi pada tahun 1970an. Amsori (50), karyawan swasta asal Tegal, Jawa Tengah, misalnya, hijrah ke Jakarta pada pertengahan 1970-an. Laki-laki lulusan SMP yang pernah jadi kuli bangunan itu tergiur membeli sebuah rumah berdinding kayu di tepi Sungai Pesanggrahan, Jakarta Selatan. ”Saya beli rumah ini tahun 1975 karena masih murah,” kata ayah tiga anak itu. Rumah seluas 100 meter persegi yang dibeli Amsori merupakan ’bangunan liar’ karena tak disertai surat kepemilikan yang sah. Ia juga sadar rumah di dekat sungai selalu terancam penggusuran, longsor, dan banjir. Namun karena alasan cekak ekonomi, semua risiko itu diterima. Kini, rumah sederhana Amsori sudah jadi rumah tembok. Dia tercatat sebagai warga RT 015 RW 001, Kelurahan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Sejak 1993, Amsori rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Jangan heran jika di kampung Amsori, warga pun dapat fasilitas listrik dari PLN dan jaringan telepon rumah. Okupasi lahan itu melengkapi derita sungai-sungai di Jakarta sejak dari hulu, salah satunya Pasanggrahan. Berubah Sebagai salah satu sungai besar yang mengaliri Ibu Kota, hulu Pesanggrahan di Pintu Air RT 001 RW 004 Sukaresmi, Tanahsareal, Kota Bogor, Jawa Barat, kini dipadati permukiman. Beberapa mata air dan rembesan yang turut mengairi hulu Pesanggrahan pun tak terurus. Salah satu mata air yang tersisa, yang menjadi mata air Sungai Suren, bernasib serupa. Mata air itu dikepung permukiman dan persekolahan. Dulu mata air itu mengaliri sungai selebar 6 meter, tetapi saat ini hanya tersisa 0,5 meter. ”Dulu alirannya seperti sungai selebar 6 meter, sekarang mirip parit,” kata Fatoni (53), putra pemilik lahan mata air itu. Memasuki Jakarta, tepatnya di kawasan Poncol dan Cirendeu yang berbatasan dengan Tangerang Selatan, kondisi Pesanggrahan tak lebih baik. Di Kompleks Perumahan Cirendeu Permai, saat hujan melanda, air sungai meluap dan menggenangi sebagian rumah warga hingga setinggi 1 meter. Mencoba beradaptasi dengan ancaman banjir, sebagian besar rumah yang rata-rata berukuran di atas 100 meter persegi dan terawat baik itu telah ditinggikan. Dari jembatan di antara Jalan Cirendeu Permai II terlihat turap beton proyek normalisasi Pesanggrahan yang terputus karena kalau diteruskan harus menerobos perumahan. Alih fungsi Berubahnya wajah sempadan sungai menjadi permukiman tak hanya disebabkan okupasi lahan akibat urbanisasi. Saat ini, alih fungsi lahan juga turut dipicu lemahnya penegakan hukum dan longgarnya penerapan aturan dari pemerintah. Keluarnya izin pembangunan gedung atau perumahan di wilayah sempadan sungai menjadi bukti. Di kawasan Cipulir, ada Pusat Grosir (PG) Metro Cipulir yang sedang dalam tahap pembangunan. Pusat pertokoan di lahan seluas 4.000 meter persegi pas di bibir Pesanggrahan itu dikembangkan PT Betawi Jaya Mandiri. Bangunan besar lain juga sedang dibangun tak jauh dari Sungai Pesanggrahan oleh PT Agung Podomoro Land Tbk, yaitu Perumahan Green Permata, Kelurahan Ulujami, Jakarta Selatan. Di lokasi yang berdekatan, pekerja PT Wijaya Karya Tbk membangun turap beton untuk proyek normalisasi di tepi Pesanggrahan. Menurut Mega, dari Humas PT Betawi Jaya Mandiri, pembangunan PG Metro Cipulir sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal senada juga dikemukakan Vice President Corporate Marketing PT Agung Podomoro Land Tbk Indra Widjaja Antono. Ia memastikan Green Permata tidak mengganggu normalisasi sungai karena sudah ada penyesuaian. Batas areal perumahan yang tiap unitnya dibanderol Rp 1,1 miliar-Rp 2,5 miliar itu berjarak 10 meter-15 meter dari tepi sungai. Normalisasi Ketika proyek normalisasi sungai mulai digelar pada 2012, Mega mengatakan, pihaknya telah mendapat pemberitahuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa sebagian lahan PG Metro Cipulir akan terkena proyek normalisasi Sungai Pesanggrahan. ”Lahan yang terkena normalisasi sudah dibeli Pemprov DKI,” katanya. Warga seperti Amsori juga pasrah ketika rumahnya bakal tergusur proyek normalisasi Pesanggrahan. Tak jauh dari rumahnya tampak turap beton tersusun di sepanjang bibir sungai. Pembangunan turap yang memanjang dari wilayah RW 007, Kelurahan Ulujami, itu terhenti tepat di depan wilayah RT 015, Kelurahan Pesanggrahan. ”Ada 32 rumah yang akan digusur, tapi omongan soal waktu penggusuran dan kompensasi yang bakal didapat warga belum ada sama sekali. Secara hukum, kami akui salah, tapi kami ingin diperlakukan sebagai manusia,” kata Ketua RT 015 Supono. Warga RT 015, kata Supono, meminta pemerintah menyediakan rumah pengganti memadai. ”Kami ingin dibangunkan rumah di situ. Kebetulan ada lahan kosong cukup luas dekat sini,” katanya. Setelah puluhan tahun bantaran salah urus, kini pemerintah pusat ataupun DKI bekerja keras mengembalikan hak sungai demi keseimbangan lingkungan serta keadilan bagi warganya. Namun, melihat kembali pada proses okupasi, persoalan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga warga. Ketika pemerintah mengeluh soal kesulitan membebaskan lahan, sanggupkah warga berbesar hati menyerahkannya? (HARIS FIRDAUS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO/B. JOSIE SUSILO HARDIANTO) Post Date : 27 November 2013 |