Kali, Korban Tata Ruang Salah

Sumber:Kompas - 25 November 2013
Kategori:Drainase
JAKARTA, KOMPAS — Banjir dan kekurangan air bersih karena kondisi sungai yang buruk diakibatkan penerapan tata ruang yang salah kaprah. Ke depan, setelah pengesahan rencana detail tata ruang ditetapkan, tata ruang harus menjadi acuan bersama. Dengan demikian, praktik okupasi bantaran sungai dan alih fungsi ilegal, seperti terjadi di DAS Pesanggrahan, bisa diakhiri.

”Jika sebelumnya tata ruang sering tidak nyambung antara daerah satu dan daerah lain, nanti tidak bisa begitu. Sinkronisasi itu menyangkut titik koordinat, titik batasnya, warna peta, dan peruntukan kawasan,” kata Iwan Kurniawan, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, Sabtu (23/11).

Gubernur tidak bisa lagi menyetujui penyesuaian peruntukan. Perubahan peruntukan tata ruang ada di tangan DPRD, sedangkan gubernur DKI sebagai pelaksana aturan tata ruang. rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI yang akan disahkan pun harus sinkron dengan RDTR wilayah sekitarnya. Sinkronisasi RDTR itu dilakukan dalam Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).

Menurut Iwan, ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU tersebut tidak ada lagi celah mengubah peruntukan lahan sehingga pemerintah bisa menjual kepada swasta dengan alasan untuk menambah kas daerah.

Akan tetapi, aturan itu sulit berlaku surut. Dampak dari aturan terdahulu yang mengorbankan sungai demi uang tunai tampak nyata di koridor daerah aliran sungai (DAS) Pesanggrahan. Peruntukan lahan di bantaran sungai tersebut sampai sekarang amat beragam. Bahkan, hanya sedikit dari DAS seluas sekitar 112 kilometer persegi di kawasan hilir yang berwarna hijau. Padahal, peruntukan hijau berarti sama sekali tidak boleh ada bangunan karena menjadi daerah resapan air, tangkapan air, atau ruang terbuka hijau.

Di DAS Pesanggrahan, jika dilihat pada peta peruntukan lahan, akan muncul macam-macam warna, seperti kuning berarti wisma dengan fasilitasnya, oranye, dan merah (karya pemerintah dengan fasilitasnya).

Di era Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, Pemprov DKI berusaha menambah ruang terbuka hijau. Caranya dengan mengubah warna peruntukan kawasan yang semula kawasan campuran menjadi kawasan karya pemerintah. Tujuannya agar kawasan itu tidak jatuh ke tangan swasta, tapi tetap dikelola pemerintah.

Terkait proyek normalisasi Sungai Pesanggrahan yang kini terhambat pembebasan lahan dan tetap terjadinya okupasi lahan sampai sekarang, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta Manggas Rudi Siahaan menegaskan, DKI tetap akan konsisten melaksanakan program sesuai rencana.

”Rencana Sungai Pesanggrahan memiliki badan kali 20 sampai 30 meter dengan garis sempadan 6,5 sampai 7 meter. Walau di permukiman padat, rencana sungai ini akan tetap jalan,” kata Manggas.

Pendapat senada disampaikan Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Gamal Sinurat. Konsekuensinya, seluruh bangunan di atas rencana sungai harus dibebaskan. Bangunan di atas rencana sungai jelas tidak memiliki izin yang lengkap. Sebab, sungai memiliki garis sempadan, tidak mungkin keluar izin resmi di atas rencana sungai.

Di sisi lain, Kementerian Pekerjaan Umum yang berwenang melaksanakan proyek fisik normalisasi berharap program ini mendapat dukungan masyarakat.

Dirjen Sumber Daya Air (Dirjen SDA) Mohamad Hasan mengharapkan ada partisipasi aktif masyarakat terkait pencegahan dan penanganan banjir di Jakarta. Salah satu hal yang dapat dilakukan warga, tidak membuang sampah ke sungai.

Kerja sama

Pekan lalu, program Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP/JEDI) yang mendapatkan dana dari Bank Dunia akhirnya dimulai. Program ini dirintis sejak tahun 2007. JUFMP/JEDI ini dimulai dengan pekerjaan Paket 2A Dredging and Embankment of Cengkareng Floodway Sub Project dan JUFMP/JEDI Paket 2B Dredging and Embankment of Lower Sunter Floodway Sub Project, di Pintu Air Cengkareng Drain Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.

Program ini merupakan dua paket dari delapan paket yang akan dikerjakan. Saat ini, ada dua paket lagi yang sudah selesai tendernya dan akan dimulai pekerjaan, sedangkan empat paket lainnya belum dilakukan tender.

”Keempat paket yang sudah tender tanpa masalah sosial. Dan, diharapkan, kedua paket yang dimulai dapat selesai tepat pada waktunya pada November 2015. Sedangkan untuk empat paket sisanya masih sarat dengan masalah sosial dan pembebasan lahan, ada sekitar 1.000 keluarga yang harus di-resettle,” kata Hasan.

Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) merupakan program yang didedikasikan Pemerintah Belanda untuk Pemerintah Indonesia, dengan dilatarbelakangi keinginan menormalisasi dan menata kembali muara-muara sungai yang ada di wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC).

Beberapa muara yang dimaksud meliputi Muara Kali Sunter, Muara Cakung Drain, Muara Cengkareng Drain, serta Muara Kali Angke atau Kanal Barat yang berada di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Pada tahap awal ini telah siap dilaksanakan pekerjaan pengerukan dan penataan tanggul untuk Cengkareng Drain dan Kali Sunter.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane Ditjen SDA Kementerian PU Imam Santoso menjelaskan, kegiatan ini merupakan hasil kerja sama antara Direktorat Jenderal SDA Kementerian PU dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dalam rangka pengendalian banjir di Wilayah DKI Jakarta.

”JUFMP/JEDI merupakan proyek pengerukan sungai dan waduk yang berada di wilayah DKI Jakarta, di mana paket 2A ini menggunakan dana pinjaman IBRD dengan nilai kontrak sebesar Rp 209,8 miliar, sedangkan paket 2B menggunakan sumber dana yang sama dengan nilai kontrak Rp 65,25 miliar,” tutur Imam. (NDY/BRO/ARN/NEL)

Post Date : 25 November 2013