|
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok publik, setelah pangan dan energi. Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat melalui pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur sumber air bersih, saluran dan pengolahan air bersih, saluran irigasi, pupuk dan bibit untuk pertanian serta pemanfaatan sumber energi termasuk eksplorasi, pembangunan kilang, pipanisasi dan hilirisasi energi lainnya. Indonesia yang menurut banyak pihak kaya akan sumber daya alam (SDA), pada kenyatannya tidak demikian. Hampir semua kota-kota besar, tempat sebagian populasi Indonesia berada, sudah mulai krisis air sejak beberapa tahun belakangan ini. Dari sisi pangan dan energi, Indonesia sudah menjadi pengimpor sejati, apapun alasannya. Jelas Indonesia memang tidak mempunyai ketahanan pangan dan energi. Semua ini terjadi karena Pemerintah abai mengurus anugrah SDA yang berlimpah sehingga lalai membangun infrastruktur. Begitu pula dengan urusan air, khususnya air baku yang sudah puluhan tahun diabaikan. Pemerintah hanya senang membuat proyek hilirnya saja, bukan hulu. Buruknya pengelolaan lingkungan oleh hampir semua Pemerintah Daerah dan tumpang tindihnya berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat membuat air diabaikan oleh Negara. Bersamaan dengan itu bisnis air dalam kemasan semakin marak, baik yang legal maupun illegal. Dalam tulisan ini saya hanya akan mengulas persoalan air bersih yang harus disediakan oleh Negara kepada seluruh warga Ibu Kota Jakarta. Sejak awal 90-an air di wilayah DKI Jakarta sudah bermasalah hingga hari ini, meskipun pengelolaan air di Jakarta sudah beralih dari BUMD terus ke swasta dan saat ini akan kembali dikelola oleh BUMD bersama dengan perusahaan patungan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Perjalanan Kebijakan Air Bersih Jakarta Air besih di Jakarta pada awalnya dikelola oleh Perusahaan Air Minum (PAM) Jakarta Raya (Jaya). Sehubungan dengan maraknya korupsi di PAM Jaya saat itu dan terus memburuknya kualitas pelayanan air bersih ke publik, membuat Pemerintah mengundang investor asing untuk mengelola air bersih di Jakarta. Maka datanglah Thames Water dari Inggris dan Lyonnaise des Eaux (yang kemudian berganti Suez Environment) dari Perancis. Kedua investor itu kemudian berkontrak dengan PAM Jaya untuk mengelola air bersih di Jakarta pada tahun 1998. Sejak saat itu kedua investor itu berbagi wilayah di DKI Jakarta untuk mengelola air bersih hingga tahun 2023.
Pendapat dan harapan Pemerintah bahwa publik Jakarta akan segera mendapatkan air bersih yang lebih baik dari sisi kualitas dan pelayanan ternyata tidak terjadi. Kondisi ini bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab operator yang notabene investor asing. Persoalan besar atau utama sebenarnya ada pada ketersedian dan kualitas air baku. Kualitas air baku sangat terkait dengan tugas dan kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Rusaknya ekosistem di hulu (Bendungan Jatiluhur), buruknya kualitas saluran Tarum Barat membuat air dari Sungai Bekasi yang sangat tercemar bercampur dengan air dari hulu yang dikelola oleh Perum PJT II Jatiluhur. Akibatnya air yang masuk ke unit pengolahan air milik kedua investor sangat tidak memenuhi syarat. Baik dari debit maupun kualitas. Ketika musim kemarau debit air dari Waduk Jatiluhur berkurang dan buruk kualitasnya (bercampur limbah berat). Akibatnya biaya penjernihan air jadi mahal karena bahan kimia yang digunakan, seperti klorin juga bertambah. Di musim penghujan, meskipun air baku berlimpah tetapi unit penjernihan sering kekurangan air baku. Mengapa ? Karena air baku dibuang ke laut oleh PJT II untuk menghindari banjir di daerah Kabupaten Bekasi. Demikian pula dengan buruknya kualitas saluran air utama Tarum Barat (Kali Malang) yang mudah jebol. Hal ini terjadi karena minimnya perawatan. Siapa yang harus merawat saluran utama ini ? Tentunya Kementrian PU menggunakan dana dari APBN. Bukan operator. Namun sering operator yang harus memperbaiki dengan dana operator. Lalu ke mana dana perawatan saluran ini? Silakan pikir sendiri. Jadi siapa pun operatornya, mau asing, BUMD atau bahkan kembali ke PAM Jaya ketika air bakunya masih bermasalah seperti sekarang, jangan pernah bermimpi warga Jakarta akan mendapatkan suplai air bersih secara kontinyu dan berkualitas. Langkah yang Harus Dilakukan
Pemerintah pastikan mempunyai cetak biru untuk persoalan air bersih di seluruh Indonesia yang mencakup jadwal pembangunan/perbaikan dan biaya yang dianggarkan sebelum semuanya menjadi terlambat.
Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, Kementerian PU dan KLH harus melakukan penyelamatan sumber air baku di wilayah hulu. Lalu perbaiki saluran air baku menuju Jakarta. Caranya bisa melalui pipanisasi air atau sterilisasi khusus saluran air baku (siphon). Sayangnya Pembangunan 'siphon' di Tarum Barat tak kunjung selesai. PJT II juga perlu mengeruk dan memperlebar Tarum Barat supaya dapat mengalirkan air di atas 21 m3/detik sesuai desain awal karena saat ini hanya dapat mengalirkan air sebanyak 17.1 m3/detik ke fasilitas penjernihan air milik 2 operator air (Aetra dan Palyja). Berdasarkan kontrak dengan PJT II, Aetra mendapat jatah 10,1 m3/detik dan sekitar 6 m3/detik untuk Palyja, jumlah ini sangat minim untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta. Pipanisasi air baku dan pembangunan 'siphon' merupakan solusi lain untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Namun investasinya besar. Jika swasta yang membangun dapat dipastikan harga air baku sampai ke pusat penjernihan akan seharga lebih dari Rp. 3.000/m3 karena investor harus memasukan besaran investasi pada penghitungan tarif air bersih, seperti apa yang akan dilakukan oleh konsorsium Hutama Karya dengan operator BUMD sehingga tarif ke pelanggan juga akan mahal. Jangan melakukan aksi korporasi untuk mengambil alih operator air jika tidak dapat memperbaiki kualitas dan ketersediaan air bersih. Mau swasta asing, swasta nasional, BUMN/BUMD atau hantu blau, silakan saja. Sudah cukup lama warga Jakarta berharap bukan saja memperoleh air bersih tetapi inginnya air minum. Air bersih Jakarta, kapan beres ? Post Date : 18 Maret 2014 |