|
Sampah di tempat pembuangan akhir di Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan diolah menjadi energi terbarukan. Maka, sampah yang dikirim pemerintah kabupaten dan kota di DIY ke Piyungan harus dalam kondisi dipisah. Pemisahan berupa sampah organik, sampah anorganik, serta limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). “Kalau kabupaten dan kota tak melakukan pemisahan, akan dikenai sanksi,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Ranni Syamsinarsi seusai pembukaan Konferensi Pekan Sampah untuk Energi di Hotel Melia, Purosani, Yogyakarta, pada Selasa, 20 Mei 2014.
Instruksi pemisahan jenis sampah itu sudah diatur dalam Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 2013 tentang Sampah dan Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang Limbah. Aturan itu untuk menyongsong diserahkannya pengelolaan TPA Piyungan dari pemerintah daerah kepada Pemerintah Provinsi DIY. “Biar daerah peduli dengan pengelolaan sampahnya. Kalau daun bercampur dengan limbah B3, kan, berbahaya,” kata Ranni.
Pemprov DIY mengalokasikan waktu tiga tahun sejak kedua perda disahkan. Pemisahan jenis sampah itu juga untuk memudahkan pengelolaan sampah dengan menggunakan teknologi dari Swedia. Harapannya, sampah di Piyungan bisa didaur ulang dan menjadi energi terbarukan. “Teknologi pengelolaan sampah dari Swedia kami nilai lebih mendekati karakteristik sampah di Indonesia. Ini hasil studi kami ke Eropa setahun lalu,” kata Ranni.
Pengelolaan sampah di Piyungan diserahkan kepada Pemprov DIY mulai 2015. Semula, TPA Piyungan yang menampung sampah dari Yogyakarta, Sleman, dan Bantul itu dikelola tiga daerah itu. Karena gagal mengelola, bahkan terancam ditutup tahun ini, pengelolaannya diserahkan kepada Pemprov DIY.
Menurut Ranni, kendalanya adalah banyak pemulung dan sapi ternak yang memanfaatkan TPA Piyungan untuk mengais rezeki. Ada sekitar 400 pemulung dan 500 ekor sapi di sana. “Kalau teknologi pengelolaan sampahnya sudah ada, mereka kan harus pergi. Ini harus dipikirkan," kata Ranni. Kendala lain, lokasi TPA Piyungan berdekatan dengan permukiman penduduk. Ranny berharap teknologi yang akan diterapkan nanti tak mengganggu permukiman di sekitarnya.
Konferensi ini adalah bagian dari program Uni Eropa-Indonesia Trade Cooperation Facility (TCF). Duta Besar Uni Eropa Olof Skoog mengatakan Uni Eropa dapat mempertemukan perusahaan Eropa dengan sejumlah pemerintah kota di Indonesia. Nilai investasi untuk proyek itu mencapai US$ 10 juta-12 juta. “Jangan dilihat berapa jumlah investasinya, tapi lihatlah jumlah sampah sebagai energi terbarukan,” kata Skoog.
Post Date : 22 Mei 2014 |