|
SEMARANG, KOMPAS — Dari 128 daerah aliran sungai di Jawa Tengah, 35 berada dalam kondisi kritis dengan enam di antaranya dalam kondisi sangat kritis dan mendesak untuk ditangani. Hampir semua daerah aliran sungai yang kritis memiliki permasalahan sama, yaitu perubahan tata kelola lahan di hulu hingga daerah-daerah di sepanjang aliran sungai. Enam daerah aliran sungai (DAS) yang sangat kritis tersebut adalah DAS Bengawan Solo, Serayu, Progo, Mawar-Medono, Serang, dan Tuntang. Padahal, kata Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng Prasetyo Budi Yuwono, Rabu (12/2), di Kota Semarang, selain dengan memperbaiki infrastruktur, pengelolaan banjir juga harus memperhatikan pengelolaan DAS. Prasetyo mengatakan, banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Jateng sekitar dua pekan lalu, terutama di kawasan pantai utara, mulai dari Pemalang, Pekalongan, Semarang, Kudus, Pati, hingga Jepara, disebabkan terutama oleh curah hujan yang sangat tinggi, lebih dari 300 milimeter per detik. Pihaknya tengah menganalisis seberapa besar andil kerusakan DAS terhadap banjir. Namun, satu hal yang jelas, lanjut Prasetyo, telah terjadi perubahan tata kelola lahan di daerah hulu hingga daerah-daerah di sepanjang aliran sungai. Di DAS Bengawan Solo, misalnya, lahan tangkapan air di Wonogiri, Sragen, Blora, hingga daerah-daerah di Jawa Timur banyak yang berubah menjadi lahan pertanian. Kawasan hulu Sungai Progo, seperti lereng Gunung Merapi, juga sudah banyak yang rusak. Perkembangan kawasan di DI Yogyakarta, terutama Sleman, yang tidak terkendali memberi andil terhadap rusaknya DAS Progo. DAS Serang yang rusak juga memberi andil terhadap terjadinya banjir di Kudus. Untuk itu, kata Prasetyo, perlu dilakukan konservasi sumber daya air. Selain membenahi kawasan tangkapan air, PSDA juga membuat cekdam di kawasan hulu untuk menahan air dari hulu agar tidak melimpas menjadi banjir. Prasetyo mengatakan, diperlukan banyak embung untuk mengonversi lahan tangkapan air yang beralih fungsi. Hingga tahun 2013, sudah ada 910 embung di Jateng. Namun, jumlah itu masih kurang mengingat cepatnya laju alih fungsi lahan. Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jaringan Sumber Air Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Juana Budi Priyanto mengatakan, pembangunan infrastruktur untuk menangani banjir tidak akan cukup menampung air jika kawasan hulu tidak dibenahi. Meskipun demikian, ujar Budi, pembangunan waduk-waduk dibutuhkan untuk mengganti lahan tangkapan air yang sudah beralih fungsi. (UTI) Post Date : 13 Februari 2014 |