Di tengah
terik matahari, seorang bocah perempuan bertelanjang dada di sebuah permukiman
kumuh di Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tergopoh-gopoh, dia
menenteng ember berisi air bekas kaleng cat baru saja diangkat dari dalam
sumur. Dengan sekuat tenaga, dia tuang air ini ke dalam ember berukuran sedang
untuk ditampung.
Bocah itu kemudian berjongkok. Sabun batangan
berwarna putih dia pegang seraya mengguyur air segayung ke atas kepala dan
seluruh tubuhnya. Di sampingnya, seorang pria paruh baya bertelanjang dada
sambil mengapit sebatang rokok kembali menimba air ke dalam sumur.
Kebanyakan sumur timba dibangun di perkampungan
masih memiliki pasokan air bersih lumayan banyak. Keberadaan sumur di Kebon
Melati seperti emas di tengah air keruh mengalir di Sungai Ciliwung tidak jauh
dari perkampungan ini.
Warga bernama Ayub, 25 tahun, mengakui air bersih
di wilayahnya memang langka. Keberadaan sumur di tengah kampung merupakan
sumber penghidupan untuk warga sekitar. Mahalnya membayar air disalurkan PT Palyja
menjadi alasan. Paling tidak, Ayub saban bulan membayar air Rp 200 ribu.
Meski bayaran itu terbilang besar, namun layanan
disediakan sangat jauh dari harapan. Air itu tidak bisa diminum lantaran
berasa. "Kadang suka macet, katanya sering bocor," katanya.
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air
Jakarta (KMMSAJ) menilai kelangkaan air bersih di Jakarta dimulai saat
pemerintah meneken kontrak dengan perusahaan swasta untuk mengelola air.
Sehari menjelang perayaan Natal 1997, surat
dukungan dari gubernur DKI Jakarta bernomor 3126/072 dan menteri keuangan nomor
S-684/MK.01/1997 menunjuk PT Palyja. "PDAM tetap rugi, saatnya Pemprov DKI
memutuskan kontrak," kata Tama S. Langkun saat menggelar keterangan pers
mewakili KMMSAJ di kantor ICW (Indonesia Corruption Watch), Kalibata, Jakarta
Selatan, Selasa pekan lalu.
Dia membandingkan pengelolaan air di Jakarta
dengan Ibu Kota Phom Penh, Kamboja. Setelah dipegang pemerintah, Jumlah
penduduk menikmati air bersih di sana terus melonjak selama 13 tahun. Dari seperempat
menjadi 90 persen pada 2006.
Sedangkan di Jakarta dikelola swasta, tidak sampai
50 persen warga menikmati air bersih. Catatan BPS (Badan Pusat Statistik),
hanya 34,8 persen penduduk ibu kota memiliki sumber air minum bersih dan layak
konsumsi.
Swastanisasi air di Jakarta berlaku sejak 16 tahun
lalu. Perusahaan Suez Environment bersama Thamses Water masing-masing mendapat
separuh Jakarta untuk dikelola melalui kontrak dengan PAM Jaya. PAM Jaya
merupakan perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Kontrak ini sejak awal berat sebelah karena
melindungi kepentingan investor secara berlebihan, tetapi buat konsumen,
Pemprov DKI, dan PAM Jaya rugi," katanya.
Saat ini di bagian barat Jakarta dikelola Palyja
dan bagian timur wewenang PT Aetra milik Acuatio
Post Date : 11 Juni 2013
|