|
Kini, KSM Ardirejo memiliki divisi usaha berupa air bersih yakni Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM), pengelolaan air limbah, dan sampah. KSM Ardirejo saat ini mampu mempekerjakan 15 orang. HIPPAM dibangun pada 2.000 lalu dimana warga membangun sumur bor dan sejauh ini mampu melayani sekitar 100 keluarga. Untuk setiap pelanggan cukup membayar Rp 21.000 terdiri dari pelanggan air bersih Rp13.500, pengelolaan air limbah Rp1.500, sampah Rp5.500, dan Rp500 untuk pos kesehatan bekerjasama dengan Poliklinik Desa (Polindes) setempat. Sebelumnya, warga Ardirejo yang sebagian diantaranya merupakan warga miskin berprofesi sebagai buruh pabrik dan petani gurem. Mereka tak memiliki dana cukup untuk memasang jaringan pipa air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Serta tak memiliki dana untuk membangun toilet. Akibatnya warga sering menderita diare karena paparan bakteri e-coli yang mencemari sungai. Namun saat ini permasalahan tersebut mampu terurai menyusul keberadaan KSM Ardirejo. Koordinator KSM Ardirejo Rudi Santoso mengatakan melalui KSM sampah organik diolah menjadi kompos dan diproses melalui fermentasi. Kompos digunakan untuk kebutuhan warga namun juga terkadang dijual. Kini kesadaran masyarakat Ardirejo akan kebersihan sudah cukup tinggi. Aneka jenis sayuran dan tanaman buah juga ditanam berderet di sepanjang jalan masuk permukiman warga. “Sekarang kampung terkesan asri karena hampir setiap rumah memiliki bak sampah dan sebagian komposter pengolah sampah organik menjadi kompos,” kata Rudi Santoso akhir pekan lalu. Tidak ada sampah berserakan di antara permukiman warga. Maklum warga telah memiliki kesadaran membersihkan lingkungan dan mengolah sampah secara swadaya. Kondisi tersebut berbeda dengan 10 tahun lalu dimana aktivitas warga lebih banyak berlangsung di aliran Sungai Molek yang merupakan anak Sungai Brantas. Sungai yang berjarak sekitar 200 meter dari permukiman ini menjadi media sosial warga. Mereka bertemu untuk mandi, mencuci, buang kotoran, bahkan membuang sampah. Tingkat pencemaran di Sungai Molek tergolong tinggi. Warga juga menghadapi krisis air bersih, dibutuhkan sumur yang dalam untuk menggali sumur. “Kebutuhan air terpenuhi, namun air limbah rumah tangga menjadi masalah. Apalagi warga juga menggunakan septic tank yang rawan mencemari sumur bor yang dikelola warga,” jelasnya. Lantas pada 2008 dibangun Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) Komunal yang menampung pembuangan air limbah rumah tangga. Sehingga, warga tak perlu membangun septic tank sendiri di masing-masing rumah. Selain lebih murah juga mencegah pencemaran air tanah. Upaya warga Ardirejo tak berhenti di situ, mereka juga menampung sampah domestik rumah tangga. Sampah pun dikelola secara optimal, seluruh sampah organik diolah menjadi kompos. Sedangkan limbah plastik, kaca, dan kertas dikelola di bank sampah. Warga pun memilah sampah mulai di rumah masing-masing. Limbah sampah organik diolah menjadi pupuk, sampah bernilai ekonomis dijual ke bank sampah. Pelayanan rawat jalan di Polindes pun cukup menunjukkan kartu pelanggan. Sehingga setiap pelanggan KSM Ardirejo telah terlindungi pelayanan kesehatan dasar di Polindes. “Termasuk 15 pekerja KSM, mereka juga mendapat pelayanan kesehatan termasuk pemeriksaan kesehatan secara rutin setiap bulan,” imbuh dia. Kini, pendapatan KSM Ardirejo setiap bulan mencapai Rp 9 juta. Sebagian besar digunakan untuk biaya operasional termasuk upah para pekerja. Sebagian disimpan untuk kebutuhan mendadak seperti perbaikan jaringan dan servis mesin pompa. Selain itu juga untuk dana sosial bagi warga setempat. Yang menggembirakan, penyakit diare juga jauh dari warga. Penyakit kulit juga tak pernah lagi diderita warga. Dulu saat masih mandi di Sungai Molek warga sering menderita penyakit diare dan penyakit kulit. Kedua penyakit ini menjadi momok, beruntung warga segera sadar kebiasaan buruk itu ditinggalkan. Sampai saat ini pun Rudi Santoso bersama bekerja KSM Ardirejo giat mengolah kebersihan lingkungan. Saluran air selalu bersih, tak ada air limbah rumah tangga yang menggenangi. Semua air limbah rumah tangga telah ditampung dan diolah dalam IPAL Komunal. Buruknya kualitas sanitasi menyebabkan penderita diare yang disebabkan bakteri e-coli meledak. Kepala Seksi Penularan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Tri Awignami Astoeti mengatakan selama 2012 total sebanyak 62.388 orang menderita diare, satu diantaranya meninggal. Sebagian besar penderita adalah bayi dan anak-anak. Untuk itu Dinas Kesehatan mengajak masyarakat untuk memperhatikan kebersihan lingkungan atau sanitasi. Serta menggunakan sumber air yang bebas dari bakteri e-coli.
“Warga di Kabupaten Malang masih banyak yang mandi, cuci, dan membuang kotoran ke sungai,” paparnya. Sumber Foto : Antara Post Date : 13 Maret 2013 |