|
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Pusat dituntut lebih serius cukupi ketersediaan air baku untuk warga Jakarta. Upaya yang dilakukan selama ini dinilai masih minim dan jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Pakar air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali menyampaikan, dari total jumlah penduduk Ibu Kota yang mencapai sekitar 10 juta jiwa, baru 36 persen yang tercukupi kebutuhan air bakunya. Sementara sisanya harus "berlomba" menyedot air tanah. Penyedotan air tanah secara besar-besaran dapat memberikan dampak negatif, salah satunya adalah menurunnya tinggi permukaan tanah. Belum lagi dengan kualitas air tanah di Jakarta yang tidak semuanya bagus atau aman untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Karena dari waktu ke waktu kualitasnya terus menurun, dan perlu cost yang lebih besar untuk mengolah air yang tinggi kadar pencemarannya. "Air tanah ini enggak bisa dimanfaatkan (untuk air baku), kecuali kalau tanahnya bagus enggak masalah," kata Firdaus, di Balaikota Jakarta, Selasa (26/3/2013). Menurut Firdaus, Pemerintah Pusat harus ikut campur, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk ketersediaan air baku ini. Semuanya tercantum dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Alasannya, Pemerintah Provinsi DKI tak memiliki kendali penuh atas daerah aliran sungai. Dari 13 sungai yang mengalir di wilayah Ibu Kota, semuanya terkait dengan pemerintahan di daerah penyangga, seperti Jawa Barat dan Banten. Dan 98,7 persen air baku untuk Jakarta disuplai dari luar wilayah Jakarta. "Perlu jaminan Pemerintah Pusat untuk jaminan suplai, keamanan (kualitas) air bakunya, dan keberlangsungannya. Jangan sampai musim kemarau suplainya jadi drop," ujarnya. Hertanto Soebijoto Post Date : 26 Maret 2013 |