|
PERNAKAH menghitung rata-rata volume sampah kita setiap hari? Sejumlah survei, setiap orang menghasilkan 0,8–1,5 kilogram sampah setiap hari. Dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2025 yang 270 juta jiwa, dihasilkan 270.000 ton timbulan sampah. Berkah atau musibah? Berkah atau musibah, terkait pengelolaan. Kondisi kini, hanya 7 persen dari total timbulan sampah nasional yang dikelola. Berkaca pada survei perilaku Kementerian Lingkungan Hidup 2012, sebagian besar masyarakat belum memilah sampah sisa dapur dan sampah lain, seperti kertas atau plastik. Pengurangan dan pengelolaan sampah di tingkat individu/komunitas sebenarnya tak bersifat sukarela. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengharuskan publik melakukannya. Namun, hampir tak pernah ada kabar sanksi terhadap para pelanggar. Jika tak dikurangi, bobot dan volume sampah terus membebani tempat pembuangan akhir (TPA) yang terbatas kapasitasnya. Hal itu terlihat di TPA Jombor (Klaten), Sumurbatu (Bekasi), Cipayung (Depok). Sampah terus menggunung. Jika tetap dipaksakan, akan berujung bencana, seperti longsor di TPA Leuwigajah, Bandung, pada 21 Februari 2005 yang menewaskan lebih dari 150 jiwa. Tanggal itu kini diperingati sebagai Hari Peduli Sampah untuk mengampanyekan kesadaran pengelolaan sampah. Masalah dunia Sampah tak hanya merongrong Indonesia. Banyak negara menghadapi. Bedanya, bagaimana negara merespons dan mengelola sampah yang dihasilkan. Di Oslo, ibu kota Norwegia—seperti dikunjungi Kompas beberapa bulan lalu—pemilahan sampah dimulai dari rumah. Sampah sisa dapur/makanan dimasukkan dalam kantong hijau, plastik dalam kantong biru, dan sampah lain dalam kantong selain dua warna itu. Kantong hijau dibawa ke pengomposan. Kantong biru ke pengolahan daur ulang di Jerman, sedangkan sampah jenis lain dibakar untuk memanaskan air dan membangkitkan listrik. Di negara berkembang, seperti Indonesia dan negara Asia-Pasifik pada umumnya, belum semaju itu. Metode menimbun secara terbuka masih mendominasi. Oleh karena itu pula sejak 2013, melalui Deklarasi Hanoi, negara Asia-Pasifik berkomitmen mengedepankan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang sampah (3R) untuk memerangi sampah. Komitmen ini pula yang dikerucutkan pada kerja sama lintas pihak dalam Deklarasi Surabaya dari Forum 3R Regional Asia-Pasifik di Surabaya, 25-27 Maret 2014. Lintas pihak penting karena sampah yang dihasilkan—jika salah atau tak dikelola—merugikan negara lain. Sampah terbawa arus laut. Hal ini ditunjukkan Hideshige Takada, peneliti pada Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo, Jepang, sampah-sampah dari daratan bergerak dari satu pusaran arus samudra ke pusaran lain. Di laut, sampah terutama plastik sebagian berubah menjadi serpihan/mikroplastik (kurang dari lima milimeter). Hasil di beberapa titik perairan, jumlah mikroplastik ini enam kali lebih banyak dibandingkan plankton. Dampaknya, mikroplastik ditemukan pada saluran pencernaan ikan, penyu, dan burung-burung laut. Meski tak tecerna, Takada mengkhawatirkan reaksi kimia plastik yang menghasilkan senyawa kimia pengganggu sistem kekebalan tubuh. Negara-negara Pasifik yang berupa kepulauan pun dihadapkan pada kekhawatiran sampah yang singgah di pantai. Mereka berupaya memerangi dengan mengerahkan warganya mengembalikan kemasan, seperti kaleng minuman, bungkus minyak, dan botol/gelas. Sistem yang disebut container deposit legislation (CDL) ini memberikan semacam biaya tambahan bagi konsumen. Saat konsumen mengembalikan kaleng, biaya tambahan itu dikembalikan. Ini mengurangi timbulan sampah signifikan. Di Indonesia, sistem lain mencoba disusun, yaitu extended producer responsibility (EPR) yang berlaku 2022. Sistem ini mewajibkan pengusaha mengganti kemasan dengan yang bisa didegradasi atau menarik kembali kemasan dari pasaran atau memanfaatkan para pengumpul. Semoga. Ichwan Susanto Post Date : 07 Maret 2014 |