Yogyakarta, Kompas - Sekitar 70 persen air tanah di Kota Yogyakarta tak memenuhi standar kesehatan karena tercemar bakteri. Masyarakat diminta waspada dengan mengolah air dengan benar sebelum dikonsumsi. Pemeriksaan sumber air juga perlu dilakukan.
"Warga juga bisa minta agar sumur atau sumber air bersihnya diperiksa puskesmas setempat," kata Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Yogyakarta Eni Dwiniarsih di Balaikota Yogyakarta, Senin (15/3).
Dinas kesehatan memaparkan hasil uji contoh bakteriologi dan kimiawi atas air bersih di beberapa titik di Yogyakarta. Dua jenis bakteri yang diuji adalah Coliform dan E coli. "Untuk uji kimia, seluruh sampel yang diuji masih di bawah ambang batas," kata Eni.
Tercemarnya air bersih berpotensi menimbulkan risiko bagi masyarakat karena bisa menyebabkan berbagai penyakit seperti diare. Penyebab utama tercemarnya air bersih karena padatnya permukiman.
Eni menjelaskan, padatnya permukiman menyebabkan jarak ideal sumur air dan sumur pembuangan air kotor minimal 10 meter tak dipenuhi. Karenanya, bakteri dari air kotor dimungkinkan mencemari saluran air bersih.
"Ada juga kemungkinan terjadi kerusakan pada sumur air atau pembuangan warga sehingga terkontaminasi bakteri," ujarnya.
Selain itu, faktor lainnya berasal dari perilaku warga sendiri yang mengotori sumber air bersih mereka, misalnya tali atau ember timba yang kotor.
Warga bisa meminta pemeriksaan air dengan mengajukan permintaan kepada puskesmas setempat. Dengan mengetahui kualitas air mereka, warga diharapkan bisa mengantisipasi dengan baik, misalnya dengan memperbaiki saluran air atau memasak air hingga suhu 100 derajat Celsius selama lima menit sebelum dikonsumsi.
Pemeriksaan gratis
Bagi warga miskin, sarana umum, dan sumur dengan potensi tercemar tinggi, pemeriksaan kualitas air dibebaskan dari biaya. Namun, di luar itu, warga dikenai biaya Rp 23.000 sekali pemeriksaan.
Selain air bersih, Dinas Kesehatan Yogyakarta juga menemukan 59 sampel dari 263 sampel depot isi ulang air minum di Yogyakarta tak layak minum karena tercemar bakteri E coli dan Coliform. Dinas kesehatan telah melarang 59 pengusaha depot itu beroperasi.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada Eko Sugiharto mengatakan, pemerintah harus mulai mengambil langkah konkret menyikapi tercemarnya air bersih tersebut. "Salah satunya dengan memulai proyek-proyek septic tank komunal berbasis rukun warga," katanya.
Dengan kepadatan penduduk Yogyakarta saat ini, sangat sulit mendapat jarak ideal 10 meter antara cubluk dan sumur. "Kalaupun satu rumah bisa menerapkan jarak ideal itu, masih harus bergantung dengan posisi septic tank tetangganya," ujarnya. (ENG)
Post Date : 17 Maret 2010
|